Sabtu, 15 Juni 2013

Aliran Kebatinan Sapta Dharma

Sapta Dharma
A.    Pengertian aliran kepercayaan
            Menurut Prof. Kamil Kartapradja dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa aliran kepercayaan adalah keyakinan dan kepercayaan rakyat Indonesia di luar agama, dan tidak termasuk ke dalam salah satu agama. Aliran kepercayaan itu ada dua macam:
1.      Kepercayaan yang sifatnya tradisional dan animistis, tanpa filosofi dan tidak ada pelajaran mistiknya, seperti kepercayaan orang-orang Perlamin dan Pelebegu di Tapanuli.
2.      Golongan kepercayaan yang ajarannya ada filosofinya, juga disertai mistik, golongan inilah yang disebut atau menamakan dirinya golongan kebatinan. Golongan kebatinan ini dalam perkembangannya akhirnya menamakan dirinya sebagai Golongan Kepercayaan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

B.     Latar belakang sejarah
Seperti keagamaan Suku Batak, Suku Dayak, Suku di Nusa Tenggara Timur dan keagamaan orang Jawa. Yang menunjukkan bahwa sejak zaman kuno, sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam, berbagai suku bangsa di Indonesia sudah menganut animisme, kepercayaan kepada roh-roh ghaib, yang kemudian bercampur dengan agama-agama dunia yang masuk di Indonesia, terutama agama Islam.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Warga negaranya terdiri dari orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Mengenai agama, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, negara yang penduduknya Bhineka Tunggal Ika dan berpandangan hidup Pancasila ini mempunyai hak yang sama di dalam hukum. Dengan demikian baik umat beragama maupun umat non agama yang percaya pada Ketuhanan Yang Maha Esa tidak ada bedanya di dalam hukum kesemuanya mempunyai hak hidup yang sama.
Dari sinilah muncul berbagai macam aliran-aliran tentang kepercayaan dan kebatinan diantaranya adalah Sapta Darma.

a.      Latar belakang sejarah
            Aliran Kepercayaan Sapta Darma; Adalah sebuah kepercayaan dengan status satu-satunya kerohanian di Indonesia, yang mewajibkan warganya menyembah Allah Yang Maha Kuasa dan menjalankan hidupnya berdasarkan tujuh kewajiban suci (darma), agar selamat hidup dunia dan akhirat. Wahyu Kerohanian Sapta Darma diterima oleh Bapak Hardjosapoero di Pare, Kediri Jawa Timur sebenarnya pada 26 Desember 1952 (malam Jumat Wage), namun kebanyakan orang mengenal 27 Desember 1952.
            Dapat dikatakan juga bahwa Sapta Darma adalah sebuah aliran kebatinan yang berarti tujuh kewajiban atau tujuh amal suci. Pendiri aliran kebatinan Sapta Darma adalah Hardjosapoero atau nama panggilannya Pak Sapuro lahir pada tahun 1910 yang berasal dari Desa Sanding, daerah Kediri. Walaupun Ia buta huruf namun tidak menghalanginya untuk aktif dalam gerakan Pemuda Sosial Indonesia (PESINDO).
            Pekerjaan sehari-harinya selain sebagai tukang cukur, ia juga sebagai dukun yang memberikan obat-obatan dengan mengurut si sakit seperti Ilmu Magnetisme, yang dipelajarinya dari Bapak R.M Suwono yang tinggal di Yogyakarta.
            Bapa Hardjo Sapuro sebagai Bapa Pantuntun Agung Sri Gutomo, sebagai penerima wahyu, sebelum menerima wahyu bukan ahli mengobati dengan magnetisme, bukan dukun, pekerjaan beliau selain tukang cukur, adalah penjual kambing. Justru setelah menerima wahyu beliu mempunyai kemampuan untuk pengobatan dan banyak lagi kemampuan yang lain, begitu pula kejaiannya dengan warga Kerohanian Sapta Darma yang tekun ibadahnya, mereka akan mendapat anugrah berupa kemampuan lebih dari manusia umumnya bila mana ibadahnya dijalankan dengan tekun.

b.      Kerohanian Sapta Darma
            Berdasar dari perijinan bukan kebatinan, melainkan kerohanian bahkan ketika wahyu di terima Bapa Harjo Sapura atau Bapa Panuntun Agung Sri Gutomo berbunyi Agama Sapta Dharma. Karena sewaktu Bapa Panuntun Agung dipanggil Presiden kedua Indonesia masalah perijinan beliau tidak bersedia sebagai nabi, sedang agama harus ada nabinya, maka jadilah Kerohanian Sapta Dharma.
            Kerohanian Sapta Darma bukan pecahan dari agama manapun. Oleh karena itu Allah di dalam Kerohanian Sapta Darma bukanlah Yang Widhi, karena Yang Widhi adalah Allah pada Agama Hindu, dan tidak didirikan oleh bapa Hardjo Sapuro, melainkan datang dengan sendirinya kepada beliau.
            Ajaran Sapta Darma sekilas pandang memiliki makna yang sederhana, namun memiliki korelasi yang sangat luas dalam kehidupan, dan tidak akan ada selesainya jika ingin dijadikan bahan perbincangan. Karena pada akhirnya akan meliputi segala aspek kehidupan, baik dunia manusia, dunia roh dan jin serta setan. Yang berintisari dari ajaran ini bersumber pada:
a.      Sujud.
b.      Wewarah Tujuh.
c.       Sesanti

a)      Sujud.
            Allah di dalam ajaran Sapta Darma adalah Zat yang Mutlak, dalam arti yang mendasar Allah Hyang Maha Kuasa adalah Zat yang bebas dari segala hubungan sebab akibat. Dia adalah Mutlak, sumber segala sebab - akibat. Sumber dari alam semesta beserta isinya. Ditambah lagi dengan sifat-sifat keluhuran, Yang Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Wasesa, dan Maha Langgeng. Kelima sifat Allah tersebut disebut Pancasila Allah (sesuai dengan WAHYU yang diterima) dalam Kerohanian Sapta Darma ini.
            Ajaran Sapta Darma mengenai manusia mengajarkan nilai bahwa manusia adalah kombinasi dari roh dan benda. Roh itu adalah sinar cahaya Allah sehingga manusia dapat berhubungan (berkomunikasi) dengan Allah, sedangkan benda adalah tubuh manusia itu sendiri. Kombinasi antara roh dan benda ini ada karena perantaraan orang tua manusia yaitu bapak dan ibu. Manusia menurut Sapta Darma ialah makhluk yang tertinggi di atas hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu menurut aliran ini di dalam tubuh manusia terdapat radar, yang apabila dipelihara dengan baik dapat memberikan kewaspadaan (ke-aware-an) di dalam menjalani hidup ini. Keadaan manusia pada umumnya mengonsumsi makanan yang berasal dari hewan dan tumbuhan, sehingga dari makanan tersebut timbullah efek samping baik itu yang baik atau yang jahat. Hal ini berarti bahwa manusia itu menurut Sapta Darma adalah menaklukan diri sendiri dari permainan hawa nafsunya sendiri.
            Kerohanian Sapta Darma bertujuan untuk kebahagiaan pengikut-pengikutnya baik di dunia maupun di akhirat. Intisari dari ajaran adalah untuk membentuk pribadi manusia yang asli berdasarkan keluhuran budi, serta menjadikan penghayatnya memiliki sikap satria utama.

b)     Wewarah Tujuh.
            Wewarah tujuh merupakan pedoman hidup yang harus dijalankan warga Sapta Darma. Isi dari Wewarah Tujuh adalah :
·         Setia kepada Allah Hyang ; Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, dan Maha Langgeng.
·         Dengan jujur dan suci hati melaksanakan perundang-undangan negaranya.
·         Turut serta menyingsingkan lengan baju demi mempertahankan nusa dan bangsanya.
·         Bersikap suka menolong kepada siapa saja tanpa mengharapkan balasan apapun, melainkan hanya berdasarkan pada rasa cinta dan kasih.
·         Berani hidup berdasarkan pada kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.
·         Sikap dalam hidup bermasyarakat selalu bersikap kekeluargaan yang senantiasa memperhatikan kesusilaan serta halusnya budi pekerti, selalu menjadi penunjuk jalan yang mengandung jasa serta mamuaskan.
·         Meyakini bahwa keadaan dunia itu tidak abadi dan selalu berubah-ubah (anyakra manggilingan - Jawa), sehingga sikap warga dalam hidup bermasyarakat tidak boleh bersifat statis dogmatis, tetapi harus selalu penuh dinamika.

c)      Sesanti.
            Sesanti atau semboyan warga sapta darma berbunyi "Ing ngendi bae, marang sapa bae warga sapta darma kudu suminar pindha baskara"(bahasa jawa).Dalam bahasa Indonesia berarti ; di mana saja dan kepada siapa saja (baik seluruh maklhuk hidup atau mati) warga Sapta Darma haruslah senantiasa bersinar laksana surya Semboyan. Makna dari semboyan ini adalah kewajiban bagi warganya untuk selalu bersikap tolong-menolong kepada semua manusia.

C.    Ritus
            Ritus merupakan cara yang dilakukan dalam sebuah agama atau kepercayaan. Dan dalam Sapta Darma, ritus yang digunakan oleh umatnya untuk mencapai kelepasan ialah dengan Sujud dan mengamalkan Wewarah pitu (tujuh petuah).
            Sikap yang harus diperhatikan dalam sujud antara lain: orang harus duduk bersila, dan menghadap ke timur, sedangkan tangan harus bersedekap sedemikian rupa, hingga tangan kanan terletak pada tangan kiri. Mata diarahkan ke bawah, memandang tajam ke satu titik di hadapannya pada jarak satu meter. Duduknya harus tegak lurus, bersikap tenang, dan tidak memikirkan apa-apa. Kepala tidak boleh menggeleng ke kiri atau ke kanan, juga tidak menengadah ke atas atau menunduk ke bawah.
            Dalam ritus sujud ini, sikap tunduk dan tubuh yang tegak harus dilakukan minimal tiga kali, pada tundukan yang pertama mengucapkan dalam hati, "Hyang Maha Suci Sujud kepada Hyang Maha kuasa" (tiga kali) dan setelah menunduk kedua kalinya, umat harus mengucapkan dalam hati: “Kesalahan Hyang Maha Suci mohon ampun kepada Hyang Mahakuasa”(tiga kali). Berikutnya setelah menunduk ketiga kalinya, umat harus mengucapkan: “Hyang Mahasuci bertobat kepada Hyang Mahakuasa” “(tiga kali). Tiga tundukan ini disebut Sujud Wajib boleh dan disarankan menambah tundukan, untuk permohonan sesuai keinginan yang melakukan ibadah.
Yang harus dilakukan dalam sujud menurut Wewarah demikian:
            Air sari atau air putih/suci berasal dari sari-sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan yang dimakan manusia. Sari-sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di ekor (Jawa = Cetik/silit kodok/brutu). Bila bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh, menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali, kekuatan ini disebut Atom Berjiwa yang ada pada pribadi manusia.
            Wewarah pitu (tujuh petuah) terdiri dari:
ü  Setia dan tawakal pada Panca Sila Allah, yaitu bahwa Tuhan menpunyai lima sifat keluhuran yang mutlak.
ü  Dengan jujur dan suci hati harus bersedia menjalankan undang-undang negaranya.
ü  Turut serta menyingsingkan lengan baju untuk menegakkan berdirinya nusa dan bangsa.
ü  Menolong siapa saja tanpa mengharapkan pamrih.
ü  Berani hidup berdasarkan kekuatan dan kepercayaan diri sendiri.
ü  Sikapnya kepada keluarga/masyarakat harus susila dengan halusnya budi pekerti.
ü  Yakin bahwa di dunia tidak abadi, tetapi serba berubah.

D.    Kehidupan Setelah Kematian
            Warga Sapta Darma tidak membicarakan surga dan neraka, tetapi mempersilahkan warga Sapta Darma untuk melihat sendiri adanya surga dan neraka tersebut dengan cara racut (mati sakjroning urip). Kejahatan, kesemena-menaan, dan sebagainya mencerminkan neraka dengan segenap reaksi yang ditimbulkannya. Begitu juga dengan kebaikan seperti bersedekah, mengajarkan ilmu berbudi yang luhur, menolong sesama mencerminkan surga.

E.     Toleransi Antar Umat Beragama
            Toleransi antara umat beragama merupakan salah satu aspek yang sudah diajarkan dalam Sapta Darma. Hal ini mengacu pada nasihat Tuntunan Agung Sapta Darma, Ibu Sri Pawenang yang menyatakan bahwa warga Sapta Darma dilarang keras memaksakan orang lain dalam hal melaksanakan sujud maupun untuk menjadi warga Sapta Darma:

Ø  Ibadah.
            Pemeluk Sapta Darma mendasarkan apa saja yang dilakukan sebagai suatu ibadah, baik makan, tidur, dsb. Tetapi ibadah utama yang wajib dilakukan adalah Sujud, Racut, Ening dan Olah Rasa.
·         Sujud, adalah ibadah menyembah Tuhan; sekurang-kurangnya dilakukan sekali sehari jika tdk melaksanakan maka terhitung mundur 40 hari hidupmu.
·         Racut, adalah ibadah menghadapnya Hyang Maha Suci/Roh Suci manusia ke Hyang Maha Kuwasa. Dalam ibadah ini, Roh Suci terlepas dari raga manusia untuk menghadap di alam langgeng/surga. Ibadah ini sebagai bekal perjalanan Roh setelah kematian.
·         Ening, adalah semadi, atau mengosongkan pikiran dengan berpasrah atau mengikhlaskan diri kepada Sang Pencipta
·         Olah Rasa, adalah proses relaksasi untuk mendapatkan kesegaran jasmani setelah bekerja keras/olah raga.

Ø  Sanggar.
            Tempat ibadah warga Sapta Darma disebut "Sanggar" dengan seorang Tuntunan yang ditunjuk sebagai pemimpin dan bertanggungjawab dalam membina spiritual warga di sanggar tersebut. Warga Sapta Darma mengenal dua nama sanggar yaitu "Sanggar Candi Sapto Renggo" dan "Sanggar Candi Busono". Sanggar Candi Sapto Renggo hanya ada satu di Jogjakarta, adalah pusat kegiatan kerohanian Sapta Darma. Sanggar Candi Busono adalah sanggar yang tersebar didaerah-daerah.

Daftar Pustaka
Hadiwijono, Harun. Kebatinan dan Injil. Jakarta: BPK GM, 2006

Kartapradja,Kamil. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: CV. Haji Masagung,1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar