Sapta Dharma
A. Pengertian aliran kepercayaan
Menurut Prof. Kamil Kartapradja
dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa
aliran kepercayaan adalah keyakinan dan kepercayaan rakyat Indonesia di luar
agama, dan tidak termasuk ke dalam salah satu agama. Aliran kepercayaan itu ada
dua macam:
1.
Kepercayaan yang sifatnya
tradisional dan animistis, tanpa filosofi dan tidak ada pelajaran mistiknya,
seperti kepercayaan orang-orang Perlamin dan Pelebegu di
Tapanuli.
2.
Golongan kepercayaan yang ajarannya
ada filosofinya, juga disertai mistik, golongan inilah yang disebut atau
menamakan dirinya golongan kebatinan. Golongan kebatinan ini dalam
perkembangannya akhirnya menamakan dirinya sebagai Golongan Kepercayaan Kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Latar
belakang sejarah
Seperti keagamaan Suku Batak,
Suku Dayak, Suku di Nusa Tenggara Timur dan keagamaan orang Jawa. Yang
menunjukkan bahwa sejak zaman kuno, sebelum masuknya agama-agama besar seperti
Hindu, Budha, Kristen, dan Islam, berbagai suku bangsa di Indonesia sudah
menganut animisme, kepercayaan kepada roh-roh ghaib, yang kemudian bercampur
dengan agama-agama dunia yang masuk di Indonesia, terutama agama Islam.
Negara Republik
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945. Warga negaranya terdiri dari orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara. Seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
Mengenai agama, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, negara yang
penduduknya Bhineka Tunggal Ika dan berpandangan hidup Pancasila ini
mempunyai hak yang sama di dalam hukum. Dengan demikian baik umat beragama maupun
umat non agama yang percaya pada Ketuhanan Yang Maha Esa tidak ada bedanya di
dalam hukum kesemuanya mempunyai hak hidup yang sama.
Dari sinilah
muncul berbagai macam aliran-aliran tentang kepercayaan dan kebatinan
diantaranya adalah Sapta Darma.
a.
Latar
belakang sejarah
Aliran Kepercayaan Sapta
Darma; Adalah sebuah kepercayaan dengan status
satu-satunya kerohanian di Indonesia, yang mewajibkan warganya menyembah Allah Yang Maha Kuasa dan
menjalankan hidupnya berdasarkan tujuh kewajiban suci (darma), agar
selamat hidup dunia dan akhirat. Wahyu Kerohanian Sapta Darma diterima oleh
Bapak Hardjosapoero di Pare, Kediri Jawa
Timur sebenarnya pada 26 Desember 1952 (malam Jumat Wage), namun kebanyakan
orang mengenal 27 Desember 1952.
Dapat
dikatakan juga bahwa Sapta Darma adalah sebuah aliran kebatinan yang berarti
tujuh kewajiban atau tujuh amal suci. Pendiri aliran kebatinan Sapta Darma
adalah Hardjosapoero atau nama panggilannya Pak Sapuro lahir pada tahun 1910
yang berasal dari Desa Sanding, daerah Kediri. Walaupun Ia buta huruf namun
tidak menghalanginya untuk aktif dalam gerakan Pemuda Sosial Indonesia (PESINDO).
Pekerjaan
sehari-harinya selain sebagai tukang cukur, ia juga sebagai dukun yang
memberikan obat-obatan dengan mengurut si sakit seperti Ilmu Magnetisme, yang
dipelajarinya dari Bapak R.M Suwono yang tinggal di Yogyakarta.
Bapa Hardjo Sapuro sebagai
Bapa Pantuntun Agung Sri Gutomo, sebagai penerima wahyu, sebelum menerima wahyu
bukan ahli mengobati dengan magnetisme, bukan dukun, pekerjaan beliau selain
tukang cukur, adalah penjual kambing. Justru setelah menerima wahyu beliu
mempunyai kemampuan untuk pengobatan dan banyak lagi kemampuan yang lain,
begitu pula kejaiannya dengan warga Kerohanian Sapta Darma yang tekun
ibadahnya, mereka akan mendapat anugrah berupa kemampuan lebih dari manusia
umumnya bila mana ibadahnya dijalankan dengan tekun.
b.
Kerohanian Sapta Darma
Berdasar dari perijinan bukan
kebatinan, melainkan kerohanian bahkan ketika wahyu di terima Bapa
Harjo Sapura atau Bapa Panuntun Agung Sri Gutomo berbunyi Agama Sapta Dharma. Karena
sewaktu Bapa Panuntun Agung dipanggil Presiden kedua Indonesia masalah
perijinan beliau tidak bersedia sebagai nabi, sedang agama harus ada nabinya,
maka jadilah Kerohanian Sapta Dharma.
Kerohanian Sapta Darma bukan pecahan
dari agama manapun. Oleh karena itu Allah di dalam Kerohanian Sapta
Darma bukanlah Yang Widhi, karena Yang Widhi adalah Allah pada Agama Hindu, dan
tidak didirikan oleh bapa Hardjo Sapuro, melainkan datang dengan sendirinya
kepada beliau.
Ajaran Sapta Darma
sekilas pandang memiliki makna yang sederhana, namun memiliki korelasi yang
sangat luas dalam kehidupan, dan tidak akan ada selesainya jika ingin dijadikan
bahan perbincangan. Karena pada akhirnya akan meliputi segala aspek kehidupan, baik
dunia manusia, dunia roh dan jin serta setan. Yang berintisari dari ajaran ini
bersumber pada:
c.
Sesanti
a)
Sujud.
Allah di dalam ajaran
Sapta Darma adalah Zat yang Mutlak, dalam arti yang mendasar Allah Hyang Maha Kuasa
adalah Zat yang bebas dari segala hubungan sebab akibat. Dia adalah Mutlak,
sumber segala sebab - akibat. Sumber dari alam semesta beserta isinya. Ditambah
lagi dengan sifat-sifat keluhuran, Yang Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha
Wasesa, dan Maha Langgeng. Kelima sifat Allah tersebut disebut Pancasila
Allah (sesuai dengan WAHYU yang diterima) dalam Kerohanian Sapta Darma
ini.
Ajaran Sapta Darma mengenai
manusia mengajarkan nilai bahwa manusia adalah kombinasi dari roh dan benda.
Roh itu adalah sinar cahaya Allah sehingga manusia dapat berhubungan
(berkomunikasi) dengan Allah, sedangkan benda adalah tubuh manusia itu sendiri.
Kombinasi antara roh dan benda ini ada karena perantaraan orang tua manusia
yaitu bapak dan ibu. Manusia menurut Sapta Darma ialah makhluk yang tertinggi
di atas hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu menurut aliran ini di dalam tubuh
manusia terdapat radar, yang apabila dipelihara dengan baik dapat memberikan
kewaspadaan (ke-aware-an) di dalam menjalani hidup ini. Keadaan manusia pada
umumnya mengonsumsi makanan yang berasal dari hewan dan tumbuhan, sehingga dari
makanan tersebut timbullah efek samping baik itu yang baik atau yang jahat. Hal
ini berarti bahwa manusia itu menurut Sapta Darma adalah menaklukan diri
sendiri dari permainan hawa nafsunya sendiri.
Kerohanian Sapta Darma bertujuan
untuk kebahagiaan pengikut-pengikutnya baik di dunia maupun di akhirat.
Intisari dari ajaran adalah untuk membentuk pribadi manusia yang asli
berdasarkan keluhuran budi, serta menjadikan penghayatnya memiliki sikap satria
utama.
b)
Wewarah Tujuh.
Wewarah
tujuh merupakan
pedoman hidup yang harus dijalankan warga Sapta Darma. Isi dari Wewarah Tujuh
adalah :
·
Setia kepada Allah Hyang ; Maha Agung,
Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, dan Maha Langgeng.
·
Dengan jujur dan suci hati melaksanakan
perundang-undangan negaranya.
·
Turut serta menyingsingkan lengan baju demi
mempertahankan nusa dan bangsanya.
·
Bersikap suka menolong kepada siapa saja
tanpa mengharapkan balasan apapun, melainkan hanya berdasarkan pada rasa cinta
dan kasih.
·
Berani hidup berdasarkan pada kepercayaan
atas kekuatan diri sendiri.
·
Sikap dalam hidup bermasyarakat selalu
bersikap kekeluargaan yang senantiasa memperhatikan kesusilaan serta halusnya
budi pekerti, selalu menjadi penunjuk jalan yang mengandung jasa serta
mamuaskan.
·
Meyakini bahwa keadaan dunia itu tidak abadi
dan selalu berubah-ubah (anyakra manggilingan - Jawa), sehingga sikap
warga dalam hidup bermasyarakat tidak boleh bersifat statis dogmatis, tetapi
harus selalu penuh dinamika.
c)
Sesanti.
Sesanti atau semboyan
warga sapta darma berbunyi "Ing ngendi bae, marang sapa bae warga
sapta darma kudu suminar pindha baskara"(bahasa jawa).Dalam bahasa
Indonesia berarti ; di mana saja dan kepada siapa saja (baik seluruh
maklhuk hidup atau mati) warga Sapta Darma haruslah senantiasa bersinar laksana
surya Semboyan. Makna dari semboyan ini adalah kewajiban bagi warganya untuk
selalu bersikap tolong-menolong kepada semua manusia.
Ritus merupakan cara
yang dilakukan dalam sebuah agama atau kepercayaan. Dan dalam Sapta Darma,
ritus yang digunakan oleh umatnya untuk mencapai kelepasan ialah dengan Sujud dan
mengamalkan Wewarah pitu (tujuh petuah).
Sikap yang harus
diperhatikan dalam sujud antara lain: orang harus duduk bersila, dan menghadap
ke timur, sedangkan tangan harus bersedekap sedemikian rupa, hingga tangan
kanan terletak pada tangan kiri. Mata diarahkan ke bawah, memandang tajam ke
satu titik di hadapannya pada jarak satu meter. Duduknya harus tegak lurus,
bersikap tenang, dan tidak memikirkan apa-apa. Kepala tidak boleh menggeleng ke
kiri atau ke kanan, juga tidak menengadah ke atas atau menunduk ke bawah.
Dalam ritus sujud ini,
sikap tunduk dan tubuh yang tegak harus dilakukan minimal tiga kali, pada
tundukan yang pertama mengucapkan dalam hati, "Hyang Maha Suci Sujud
kepada Hyang Maha kuasa" (tiga kali) dan setelah menunduk kedua kalinya,
umat harus mengucapkan dalam hati: “Kesalahan Hyang Maha Suci mohon ampun
kepada Hyang Mahakuasa”(tiga kali). Berikutnya setelah menunduk ketiga kalinya,
umat harus mengucapkan: “Hyang Mahasuci bertobat kepada Hyang Mahakuasa” “(tiga
kali). Tiga tundukan ini disebut Sujud Wajib boleh dan
disarankan menambah tundukan, untuk permohonan sesuai keinginan yang melakukan
ibadah.
Yang harus dilakukan dalam sujud menurut Wewarah demikian:
Air sari atau air
putih/suci berasal dari sari-sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan yang
dimakan manusia. Sari-sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya
di ekor (Jawa =
Cetik/silit kodok/brutu). Bila bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan
getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh,
menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali, kekuatan ini disebut Atom Berjiwa
yang ada pada pribadi manusia.
Wewarah pitu (tujuh
petuah) terdiri dari:
ü Setia dan
tawakal pada Panca Sila Allah, yaitu bahwa Tuhan menpunyai lima sifat keluhuran
yang mutlak.
ü
Dengan jujur dan suci hati harus bersedia
menjalankan undang-undang negaranya.
ü
Turut serta menyingsingkan lengan baju untuk
menegakkan berdirinya nusa dan bangsa.
ü
Menolong siapa saja tanpa mengharapkan
pamrih.
ü
Berani hidup berdasarkan kekuatan dan
kepercayaan diri sendiri.
ü
Sikapnya kepada keluarga/masyarakat harus
susila dengan halusnya budi pekerti.
ü Yakin bahwa di
dunia tidak abadi, tetapi serba berubah.
D.
Kehidupan Setelah Kematian
Warga Sapta Darma tidak
membicarakan surga dan neraka, tetapi mempersilahkan warga Sapta Darma untuk
melihat sendiri adanya surga dan neraka tersebut dengan cara racut (mati
sakjroning urip). Kejahatan, kesemena-menaan, dan sebagainya mencerminkan
neraka dengan segenap reaksi yang ditimbulkannya. Begitu juga dengan kebaikan
seperti bersedekah, mengajarkan ilmu berbudi yang luhur, menolong sesama
mencerminkan surga.
E.
Toleransi Antar Umat Beragama
Toleransi antara umat
beragama merupakan salah satu aspek yang sudah diajarkan dalam Sapta Darma. Hal
ini mengacu pada nasihat Tuntunan Agung Sapta Darma, Ibu Sri Pawenang yang
menyatakan bahwa warga Sapta Darma dilarang keras memaksakan orang lain dalam
hal melaksanakan sujud maupun untuk menjadi warga Sapta Darma:
Ø
Ibadah.
Pemeluk Sapta Darma
mendasarkan apa saja yang dilakukan sebagai suatu ibadah, baik makan, tidur,
dsb. Tetapi ibadah utama yang wajib dilakukan adalah Sujud, Racut,
Ening dan Olah Rasa.
·
Sujud, adalah ibadah menyembah Tuhan;
sekurang-kurangnya dilakukan sekali sehari jika tdk melaksanakan maka terhitung
mundur 40 hari hidupmu.
·
Racut, adalah ibadah menghadapnya Hyang Maha
Suci/Roh Suci manusia ke Hyang Maha Kuwasa. Dalam ibadah ini, Roh Suci terlepas
dari raga manusia untuk menghadap di alam langgeng/surga. Ibadah ini sebagai
bekal perjalanan Roh setelah kematian.
·
Ening, adalah semadi, atau mengosongkan pikiran dengan
berpasrah atau mengikhlaskan diri kepada Sang Pencipta
·
Olah Rasa, adalah proses relaksasi untuk
mendapatkan kesegaran jasmani setelah bekerja keras/olah raga.
Ø Sanggar.
Tempat ibadah warga
Sapta Darma disebut "Sanggar" dengan seorang Tuntunan yang
ditunjuk sebagai pemimpin dan bertanggungjawab dalam membina spiritual warga di
sanggar tersebut. Warga Sapta Darma mengenal dua nama sanggar yaitu
"Sanggar Candi Sapto Renggo" dan "Sanggar Candi Busono".
Sanggar Candi Sapto Renggo hanya ada satu di Jogjakarta, adalah pusat kegiatan
kerohanian Sapta Darma. Sanggar Candi Busono adalah sanggar yang tersebar
didaerah-daerah.
Daftar Pustaka
Hadiwijono, Harun. Kebatinan dan Injil. Jakarta: BPK GM, 2006
Kartapradja,Kamil. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia.
Jakarta: CV. Haji Masagung,1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar