Fenomenologi (Edmun Huserl)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sejak awal
kelahirannya, kegiatan berfilsafat sendiri didorong oleh rasacinta akan
kebijaksanaan. Kata Philosophia sendiri secara harfiah berarti cintaakan
kebijaksanaan, karena kata yunani philo atau kata kerjanya philein adalah mencintai.
Sedangkan sophia adalah kebijaksanaan. Dalam perspektif pencariankebijaksanaan
kegiatan manusia untuk condong kepada hal ingin tahu adalahsalah satu hal yang
tidak mungkin terpisahkan dari manusia itu sendiri. Berangkatdari tujuan rasa ingin
tahu tadi, maka perkembangan yang terjadi diharapkan bisa memberikan hasil
untuk berbuat secara lebih tepat dalam beriteraksi dengandunia, masyarakat
sekitar, dan bahkan antara diri sendiri dengan tuhannya. Maka ketika seseorang
memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia
memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu denganinteleknya, dan
pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi
tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan - pengetahuan ini disebut
filsafat. Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: phainestai yang
berarti “menunjukan” dan “menampakan diri sendiri”. Sebagai aliran
epistemology, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl (1859-1938), meski
sebenarnya istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filusuf sebelumnya.
Dalam konsep Kant tentang proses
pengetahuan manusia adalah suatu proses sintesa antara apa yang ia sebut apriori
dan aposteriori . Apriori merupakan aktivitas rasio yang aktif dan
dinamis dalam membangun, dan berfungsi sebagai bentuk pengetahuan, sedangkan
Aposteriori merupakan cerapan pengalaman yang brfungsi sebagai ‘isi’
pengetahuan yang terdiri dari fenomena objek. Karana rasio bersifat aktif dalam
mengkonstruk fenomena menjadi pengetahuan sesuai dengan kategori-kategori
rasio, maka pengetahuan manusia tidak mungkin menjangkau noumena.
Kant
menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran,
sedangkan noumena adalah realitas yang berada ddi luar keasadaran pengamat.
Menurut Kant, manusia hanya dapat menenal fenomena-fenomena yang nampak dalam
kesadaran, bukan noumenna yaitu realitas di luar yang kita kenal. Noumena yang
selalu tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai “x” yang tidak dapat dikenal
karna ia terselubung dari kesadaran kita. Fenomena yang tampak dalam kesadaran
kita ketika berhadapan dengan realitas (noumena) itulah yang kita kenal.
Melihat warna biru, misalnya tidak lain aadalah hasil dari cerapan indrawi yang
membentuk pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Waran biru
itu sendiri merupakan realitas yang tidak dikenal pada diri sendiri. Ini berati
kesadaran kita tertutup dari realitas. Kant sebenarnya mengakui adanya realitas
ekternal yang berada di luar diri manusia, yaitu sebuah realitas yang ia sebut das
Ding an sich (objek pada dirinya sendiri) atau noumena, tapi menurutnya
manusia tidak ada sarana ilmiah untuk mengetahuinya.
B. Prinsip Fenomenologi
1. Prinsip
epoche dan eidetic vision.
Kata
epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “menunda putusan” atau
“mengkosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Dalam hal ini Husserl mengatakan
bahwa epoche merupakan thesis of the natural standpoint (tesis
tentang pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam
kesadaran adalah benar – benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi
pengamat.
Menurut Husserl
ada dua langkah untuk mencapai esensi fenomena:
1.
Metode
epoche, dengan menunda putusan lebih dahulu.
2.
Eidetic
vision atau membuat ide.
Eidetic
vision juga disebut “reduksi”, yakni
menyaring fenomena untuk sampai ke eideosnya, sampai ke intisarinya atau
yang sejatinya. Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenschau,
artinya sampai pada hakikatnya.
Dari penjelasan
diatas dapat diketahui bahwa fenomenologi dapat berarti “membiarkan apa yang
menunjukan dirinya sendiri, dilihat melalui dirinya sendiri, dan dalam batas –
batas dirinya sendiri, sebagai mana ia menunjukkan dirinya melalui dan dari
dirinya sendiri” untuk itu Husserl menggunakan istilah “intensionalitas” yaitu
realitas yang menampakan diri dalam kesadaran indifidu atau kesadaran
intensional dalam menangkap “fenomena apa adanya”.
Menurut G van
der leeuw, ada tiga perinsip yang tercakup didalam fenomenologi:
1.
Sesuatu
itu berwujud.
2.
Sesuatu
itu tampak.
3.
Karna
sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena.
Penampakan itu
menunjukan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh sipengamat
tanpa melakukan modifikasi.
Menurut kaum fenomenolog,
fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini
sejalan dengan perinsip ilmu pengetahuan sebagai mana dinyatakan J.B. Connant,
bahwa: cara berfikir ilmiah menuntut kebiasaan menghadapi kenyataan dengan
tidak berperasangaka oleh konsepsi – konsepsi manapun sebelumnya. Pengamatan
yang cermat dan ketergantungan pada eksperimen adalah asas penuntun.
2.
Konsep “dunia dan kehidupan” ( lebenswelt )
Fenomenologi
tidak bisa dipisahkan dari konsep dua dunia. Konsep ini sebagai usaha
memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi
ilmu – ilmu sosisal serta untuk menyalamatkan subjek ilmu pengetahuan. Edmund
Husserl menyatakan bahwa konsep dunia-kehidupan merupakan konsep yang dapat
menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang tengah mengalami kerisis akiabat pola
pikir positifistik dan saintistik.
Menurut
Husserl dunia - kehidupan bisa dipahami kurang lebih, dunia sebagai mana
manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi
antar subjek. Di dalam kehidupan praktis kita, baik itu sederhana maupun rumit
kita bergerak di dalam dunia yang sudah di selubungi dangan penafsiran dan
kategori- katagori ilmu pengetahuan dan filsfat dan juga sedikit banyak
penfsiran – penfsiran itu diwarnai oleh kepentingan – kepentingan kita, dan
situasi – situasi kehidupan kita, dan kabiasaan – kebiasaan kita.
Oleh karna itu semboyan Husserl Zuruck zu
de sachen selbt di maksudkan sebagai usaha fenomenologis untuk menemukan
kembali dunia kehidupan itu. Dunia-kehidupan (lebenswelt) adalah dasar makna
yang telah dilupakan oleh ilmu pengetahuan”, begitulah ujar Husserl, pencetus
fisafat fenomenologi. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang membentuk
kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi
sebelum kita meneorikan atau mereflesikannya secara filosofis. Dunia kehidupan
memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada
tahap-tahap yang paling primer. Sayangnya, dunia kehidupan itu sudah dilupakan.
Kita kerap memaknai kehidupan tidak secara apa adanya, tetapi berdasarkan
teori-teori, refleksi filosofis tertentu, atau berdasarkan penafsiran yang
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi kehidupan, dan
kebiasaan-kebiasaan kita.
Pertama
dan prinsip paling dasar dari fenomenologi yang secara jelas dihubungkan dengan
idealisme jerman dalam bab ini adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan
dalam pengalaman external tetapi dalam diri kesadaran individu. Jadi,
fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang
mencari objektifitas sebab akibat dan penjelasan universal.
Kedua, makna adalah derivasi oleh potensialitas
sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Dalam artian,
makna sebuah pohon yang tumbuh dihalaman belakang dapat berkisar dalam makna
indahnya dahan-dahan, keteduhan yang penuh hasrat, kicauan burung yang mendiami
pohon itu atau sebuah halangan yang tidak diinginkan untuk menyatukan kontruksi
makna tersebut. Esensinya, makna yang berasal dari suatu objek atau pengalaman
akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup.
Ketiga,
kalangan fenomenolog percaya bahwa dunia dialami dan makna dibangun melalui
bahasa. Asumsi ini mengikuti pendapat kalangan konstruktifisme social yang
telah dibicarakan pada bab sebelumnya, ketiga dasar fenomeologi ini mempunyai
perbedaan derajat signifikansi, bergantung pada aliran tertentu pemikiran
fenomenologi yang akan dibahas.
Fenomenologi transcendental (kadang disebut fenomenologi klasik) dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859-1938), seorang fisikiawan dan ahli matematika yang kemudian memfokuskan dirinya pada isu-isu pundamental mengenai bagaimana kita dapat mengetahui dunia. Focus perhatiannya adalah tesis adalah keseharian hidup kita, esensi dari objek dan pengalaman menjadi kabur dengan konsep-konsep yang diterima begitu saja (taken for granted) yang kemudian menjadi sebuah kebenaran umum. Contohnya, interaksi kita di meja makan pada saat makan malam mungkin dikatakan sebuah kesepakatan mengenai siapa kita sebagai anggota keluarga, namun kita biasanya menerima interaksi ini begitu saja, serta makna yang mereka dapatkan. Karena kekaburan esensi pengalaman ini, Husserl percaya bahwa “inti usaha fenomenologi adalah untuk memurnikan sikap alamiah kehidupan sehari-hari dengan tujuan menerjemahkannya sebagai sebuah objek untuk penelitian filsafat secara cermat dan dalam rangka menggambarkan serta meperhitungkan strukturesensialnya”.
Fenomenologi transcendental (kadang disebut fenomenologi klasik) dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859-1938), seorang fisikiawan dan ahli matematika yang kemudian memfokuskan dirinya pada isu-isu pundamental mengenai bagaimana kita dapat mengetahui dunia. Focus perhatiannya adalah tesis adalah keseharian hidup kita, esensi dari objek dan pengalaman menjadi kabur dengan konsep-konsep yang diterima begitu saja (taken for granted) yang kemudian menjadi sebuah kebenaran umum. Contohnya, interaksi kita di meja makan pada saat makan malam mungkin dikatakan sebuah kesepakatan mengenai siapa kita sebagai anggota keluarga, namun kita biasanya menerima interaksi ini begitu saja, serta makna yang mereka dapatkan. Karena kekaburan esensi pengalaman ini, Husserl percaya bahwa “inti usaha fenomenologi adalah untuk memurnikan sikap alamiah kehidupan sehari-hari dengan tujuan menerjemahkannya sebagai sebuah objek untuk penelitian filsafat secara cermat dan dalam rangka menggambarkan serta meperhitungkan strukturesensialnya”.
Tujuan
dari pemurnian ini, menurut Husserl telah dicapai melalui metode apoche. Metode
ini meliputi pemberian tanda kurung (bracketing) atau menunda sikap-sikap
alamiah dari hal-hal kehidupan yang diterima begitu saja dalam rangka
memperoleh pemahaman yang lebih murni dari fenomena yang diinvestigasi. Menurut
aliran fenomenologi transcendental, pemahaman yang benar atas sebuah fenomena
dapat dinilai hanya bias-bias personal, sejarah, nilai dan keterkaitan dapat
dimurnikan (meletakan dalam sebuah satuan pengalaman berdasarkan waktu
investigasi. Berdasarkan pemikiran fenomenologi transcendental ini,
filsuf-filsuf lain kemudian bergerak kesebuah pemikiran yang aktif terhadap
dunia social dari pengalaman keseharian.
Dalam wilayah yang dikenal sebagai
fenomenologi social itu, tulisan Alfred schutz (1899-1959) telah mempunyai
pengaruh yang kuat dalam kerja ilmuan sosiologi dan komunikasi,. Schutz
menerima banyak prinsip dasar yang dibangun Husserl, kecuali ajaran tentang penundaan
atas kehidupan dunia agar kemurnian dapat diperoleh. Dia membahas cara-cara
agar intersubjektifitas kehidupan dunia dapat didekati dan dipahami. Dengan
kata lain, schutz lebih menitikberatkan pada intensitas pembelajaran tentang
lebenswelt, bukan pada prinsip pemberian tanda kurung atasnya (penundaan makna
dan definisi kita terhadap realitas).
Menurut
schutz, keseharian kehidupan dunia ini dapat dipahami dalam term-term yang
kemudian disebutnya sebagai perlambangan yang digunakan untuk mengorganisasikan
dunia social.Dengan demikian, fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang
penting bagi pemikiran interpretif. Fenomenologi transcendental dan
fenomenologi social menegaskan pentingnya dunia kehidupan sehari-hari sebagai
sebuah objek study. Keduanya juga mencatat bahwa pemahaman kita terhadap
kehidupan dunia sering kabur oleh “kesangat lazimannya” untuk keluar darinya,
fenomenologi social mempunyai sebuah pendekatan dan pembedaharan kata untuk
menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana
sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
dari “Fenomenologi” merupakan sebuah studi dalam bidang filsafat yang mengajari
manusia sebagai sebuah fenomena. Fenomena atau fenomenalisme adalah aliran atau
paham yang menganggap bahwa fonomenalisme (gejala) adalah sumber ilmu
pengetahuan dan kebenaran. Edmund Hursell adalah seorang tokoh fenomenologi,
yaitu selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen,
konsep-konsep atau teori umum. Dalam fenomenologi, ilmu pengetahuan muncul
karena apa yang sudah diketahui secara spontas dan langsung disusun dan diatur
secara sistematis dengan menggunakan metode tertentu yang bersifat baku.
Metodologi adalah studi
tentang metode yang digunakan dalam suatu bidang ilmu untuk memperoleh
pengetahuan mengenai pokok persoalan dan ilmu itu, menurut aspek tertentu dan
penyelidikan metodelogi berhubungan dengan proses-proses kognitif yang dituntut
oleh persoalan-persoalan yang muncul dari pondok studi itu, dapat di katakana
bahwa suatu metode adalah kombinasi sistematik dari proses-proses kognitif
dengan menggunakan teknik-teknik khusus.
Tinjauan keseluruhan
tipe pemahaman tingkah laku orang beragam ini tepatnya untuk menangkap makna
lebih dalam dari dan intensionalitas dari data religius orang lainyang
merupakan ekspresi-ekpresi dari pengalaman religius dan imannya lebih dalam.
Seperti kita lihat, sejarah agama membahas aspek-aspek yang paling pokok dari
kehidupan manusia sampai menjadi dasar sepenuh-penuhnya bahwa agama adalah
sesuatu yang paling dalam dan paling luhur dalam wilayah eksistensi spiritual
dan intelektual manusia. Meskipun disadari batas-batasnya dalam tugas memasuki
kedalaman pengalaman dari suatu jiwa religius.
Sejarah agama pertama-tama
berurusan dengan agama dalam lingkupnya masing-masing. Perkembangannya dalam
lingkup yang sama, oleh karena itu sejarah agama mempelajari data religius
dalam kaitan historisnya. Bukan saja dengan data religius lain, tetapi juga
dengan data yang bukan religius, apakah itu kesusasteran, kesenian,
kemasyarakatan dan sebagainya. Lebih dari itu tidaklah cukup hanya mengetahui
apa yang tepatnya terjadi dan bagaimana fakta itu didapatkan yang ingin kita
ketahui terutama adalah makna dari kejadian itu.
Penyampaian fakta-fakta
alam dengan formulasi ilmiah yang cukup detail pada kurun waktu dimana telah
berkembang luas keyakinan manusia akan kedataran dan bumi dari
ketidakbergerakannya, termasuk salah satu pancaran sinar kenabian yang
membuktikan kenabian dan risalah beliau.
DAFTAR PUSTAKA
Maksum Ali, Pengantar Filsafat,
Yogyakarta: Pus Apom Press, 2007
Keraf Sony dan Mikhael, Dua Ilmu
Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: KANISIUS, 2001
Dhavomony Mariasuasi, Fenomenologi
Agama, Yogyakarta: KANISIUS, 1995
Dr. An-Najjar Zaqhlul, Pembuktian sains
dalam Sunnah, Jilid 2, Jakarta: AMZAH, 2006
Mohammad Muslih, Filsafat Umum,
Yogyakarta: Belukar, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar