Sabtu, 15 Juni 2013

Fenomenologi (Edmun Huserl)


Fenomenologi (Edmun Huserl)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sejak awal kelahirannya, kegiatan berfilsafat sendiri didorong oleh rasacinta akan kebijaksanaan. Kata Philosophia sendiri secara harfiah berarti cintaakan kebijaksanaan, karena kata yunani philo atau kata kerjanya philein adalah mencintai. Sedangkan sophia adalah kebijaksanaan. Dalam perspektif pencariankebijaksanaan kegiatan manusia untuk condong kepada hal ingin tahu adalahsalah satu hal yang tidak mungkin terpisahkan dari manusia itu sendiri. Berangkatdari tujuan rasa ingin tahu tadi, maka perkembangan yang terjadi diharapkan bisa memberikan hasil untuk berbuat secara lebih tepat dalam beriteraksi dengandunia, masyarakat sekitar, dan bahkan antara diri sendiri dengan tuhannya. Maka ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu denganinteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan - pengetahuan ini disebut filsafat. Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: phainestai yang berarti “menunjukan” dan “menampakan diri sendiri”. Sebagai aliran epistemology, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl (1859-1938), meski sebenarnya istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filusuf sebelumnya. Dalam konsep Kant  tentang proses pengetahuan manusia adalah suatu proses sintesa antara apa yang ia sebut apriori dan aposteriori . Apriori merupakan aktivitas rasio yang aktif dan dinamis dalam membangun, dan berfungsi sebagai bentuk pengetahuan, sedangkan Aposteriori merupakan cerapan pengalaman yang brfungsi sebagai ‘isi’ pengetahuan yang terdiri dari fenomena objek. Karana rasio bersifat aktif dalam mengkonstruk fenomena menjadi pengetahuan sesuai dengan kategori-kategori rasio, maka pengetahuan manusia tidak mungkin menjangkau noumena.
Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas yang berada ddi luar keasadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat menenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumenna yaitu realitas di luar yang kita kenal. Noumena yang selalu tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai “x” yang tidak dapat dikenal karna ia terselubung dari kesadaran kita. Fenomena yang tampak dalam kesadaran kita ketika berhadapan dengan realitas (noumena) itulah yang kita kenal. Melihat warna biru, misalnya tidak lain aadalah hasil dari cerapan indrawi yang membentuk pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Waran biru itu sendiri merupakan realitas yang tidak dikenal pada diri sendiri. Ini berati kesadaran kita tertutup dari realitas. Kant sebenarnya mengakui adanya realitas ekternal yang berada di luar diri manusia, yaitu sebuah realitas yang ia sebut das Ding an sich (objek pada dirinya sendiri) atau noumena, tapi menurutnya manusia tidak ada sarana ilmiah untuk mengetahuinya.

B. Prinsip Fenomenologi
1. Prinsip epoche dan eidetic vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “menunda putusan” atau “mengkosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Dalam hal ini Husserl mengatakan bahwa epoche merupakan thesis of the natural standpoint (tesis tentang pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar – benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.
Menurut Husserl ada dua langkah untuk mencapai esensi fenomena:
1.                  Metode epoche, dengan menunda putusan lebih dahulu.
2.                  Eidetic vision atau membuat ide.
Eidetic vision juga disebut “reduksi”, yakni menyaring fenomena untuk sampai ke eideosnya, sampai ke intisarinya atau yang sejatinya. Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenschau, artinya sampai pada hakikatnya.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa fenomenologi dapat berarti “membiarkan apa yang menunjukan dirinya sendiri, dilihat melalui dirinya sendiri, dan dalam batas – batas dirinya sendiri, sebagai mana ia menunjukkan dirinya melalui dan dari dirinya sendiri” untuk itu Husserl menggunakan istilah “intensionalitas” yaitu realitas yang menampakan diri dalam kesadaran indifidu atau kesadaran intensional dalam menangkap “fenomena apa adanya”.
Menurut G van der leeuw, ada tiga perinsip yang tercakup didalam fenomenologi:
1.                  Sesuatu itu berwujud.
2.                  Sesuatu itu tampak.
3.                  Karna sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena.
Penampakan itu menunjukan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh sipengamat tanpa melakukan modifikasi.
            Menurut kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini sejalan dengan perinsip ilmu pengetahuan sebagai mana dinyatakan J.B. Connant, bahwa: cara berfikir ilmiah menuntut kebiasaan menghadapi kenyataan dengan tidak berperasangaka oleh konsepsi – konsepsi manapun sebelumnya. Pengamatan yang cermat dan ketergantungan pada eksperimen adalah asas penuntun.
2. Konsep “dunia dan kehidupan” ( lebenswelt )
Fenomenologi tidak bisa dipisahkan dari konsep dua dunia. Konsep ini sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu – ilmu sosisal serta untuk menyalamatkan subjek ilmu pengetahuan. Edmund Husserl menyatakan bahwa konsep dunia-kehidupan merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang tengah mengalami kerisis akiabat pola pikir positifistik dan saintistik.
Menurut Husserl dunia - kehidupan bisa dipahami kurang lebih, dunia sebagai mana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Di dalam kehidupan praktis kita, baik itu sederhana maupun rumit kita bergerak di dalam dunia yang sudah di selubungi dangan penafsiran dan kategori- katagori ilmu pengetahuan dan filsfat dan juga sedikit banyak penfsiran – penfsiran itu diwarnai oleh kepentingan – kepentingan kita, dan situasi – situasi kehidupan kita, dan kabiasaan – kebiasaan kita.
 Oleh karna itu semboyan Husserl Zuruck zu de sachen selbt di maksudkan sebagai usaha fenomenologis untuk menemukan kembali dunia kehidupan itu. Dunia-kehidupan (lebenswelt) adalah dasar makna yang telah dilupakan oleh ilmu pengetahuan”, begitulah ujar Husserl, pencetus fisafat fenomenologi. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi sebelum kita meneorikan atau mereflesikannya secara filosofis. Dunia kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Sayangnya, dunia kehidupan itu sudah dilupakan. Kita kerap memaknai kehidupan tidak secara apa adanya, tetapi berdasarkan teori-teori, refleksi filosofis tertentu, atau berdasarkan penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi kehidupan, dan kebiasaan-kebiasaan kita.
Pertama dan prinsip paling dasar dari fenomenologi yang secara jelas dihubungkan dengan idealisme jerman dalam bab ini adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman external tetapi dalam diri kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari objektifitas sebab akibat dan penjelasan universal.
 Kedua, makna adalah derivasi oleh potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Dalam artian, makna sebuah pohon yang tumbuh dihalaman belakang dapat berkisar dalam makna indahnya dahan-dahan, keteduhan yang penuh hasrat, kicauan burung yang mendiami pohon itu atau sebuah halangan yang tidak diinginkan untuk menyatukan kontruksi makna tersebut. Esensinya, makna yang berasal dari suatu objek atau pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup.
Ketiga, kalangan fenomenolog percaya bahwa dunia dialami dan makna dibangun melalui bahasa. Asumsi ini mengikuti pendapat kalangan konstruktifisme social yang telah dibicarakan pada bab sebelumnya, ketiga dasar fenomeologi ini mempunyai perbedaan derajat signifikansi, bergantung pada aliran tertentu pemikiran fenomenologi yang akan dibahas.
Fenomenologi transcendental (kadang disebut fenomenologi klasik) dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859-1938), seorang fisikiawan dan ahli matematika yang kemudian memfokuskan dirinya pada isu-isu pundamental mengenai bagaimana kita dapat mengetahui dunia. Focus perhatiannya adalah tesis adalah keseharian hidup kita, esensi dari objek dan pengalaman menjadi kabur dengan konsep-konsep yang diterima begitu saja (taken for granted) yang kemudian menjadi sebuah kebenaran umum. Contohnya, interaksi kita di meja makan pada saat makan malam mungkin dikatakan sebuah kesepakatan mengenai siapa kita sebagai anggota keluarga, namun kita biasanya menerima interaksi ini begitu saja, serta makna yang mereka dapatkan. Karena kekaburan esensi pengalaman ini, Husserl percaya bahwa “inti usaha fenomenologi adalah untuk memurnikan sikap alamiah kehidupan sehari-hari dengan tujuan menerjemahkannya sebagai sebuah objek untuk penelitian filsafat secara cermat dan dalam rangka menggambarkan serta meperhitungkan strukturesensialnya”.
Tujuan dari pemurnian ini, menurut Husserl telah dicapai melalui metode apoche. Metode ini meliputi pemberian tanda kurung (bracketing) atau menunda sikap-sikap alamiah dari hal-hal kehidupan yang diterima begitu saja dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih murni dari fenomena yang diinvestigasi. Menurut aliran fenomenologi transcendental, pemahaman yang benar atas sebuah fenomena dapat dinilai hanya bias-bias personal, sejarah, nilai dan keterkaitan dapat dimurnikan (meletakan dalam sebuah satuan pengalaman berdasarkan waktu investigasi. Berdasarkan pemikiran fenomenologi transcendental ini, filsuf-filsuf lain kemudian bergerak kesebuah pemikiran yang aktif terhadap dunia social dari pengalaman keseharian.
 Dalam wilayah yang dikenal sebagai fenomenologi social itu, tulisan Alfred schutz (1899-1959) telah mempunyai pengaruh yang kuat dalam kerja ilmuan sosiologi dan komunikasi,. Schutz menerima banyak prinsip dasar yang dibangun Husserl, kecuali ajaran tentang penundaan atas kehidupan dunia agar kemurnian dapat diperoleh. Dia membahas cara-cara agar intersubjektifitas kehidupan dunia dapat didekati dan dipahami. Dengan kata lain, schutz lebih menitikberatkan pada intensitas pembelajaran tentang lebenswelt, bukan pada prinsip pemberian tanda kurung atasnya (penundaan makna dan definisi kita terhadap realitas).
Menurut schutz, keseharian kehidupan dunia ini dapat dipahami dalam term-term yang kemudian disebutnya sebagai perlambangan yang digunakan untuk mengorganisasikan dunia social.Dengan demikian, fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Fenomenologi transcendental dan fenomenologi social menegaskan pentingnya dunia kehidupan sehari-hari sebagai sebuah objek study. Keduanya juga mencatat bahwa pemahaman kita terhadap kehidupan dunia sering kabur oleh “kesangat lazimannya” untuk keluar darinya, fenomenologi social mempunyai sebuah pendekatan dan pembedaharan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dari “Fenomenologi” merupakan sebuah studi dalam bidang filsafat yang mengajari manusia sebagai sebuah fenomena. Fenomena atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fonomenalisme (gejala) adalah sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran. Edmund Hursell adalah seorang tokoh fenomenologi, yaitu selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. Dalam fenomenologi, ilmu pengetahuan muncul karena apa yang sudah diketahui secara spontas dan langsung disusun dan diatur secara sistematis dengan menggunakan metode tertentu yang bersifat baku.
Metodologi adalah studi tentang metode yang digunakan dalam suatu bidang ilmu untuk memperoleh pengetahuan mengenai pokok persoalan dan ilmu itu, menurut aspek tertentu dan penyelidikan metodelogi berhubungan dengan proses-proses kognitif yang dituntut oleh persoalan-persoalan yang muncul dari pondok studi itu, dapat di katakana bahwa suatu metode adalah kombinasi sistematik dari proses-proses kognitif dengan menggunakan teknik-teknik khusus.
Tinjauan keseluruhan tipe pemahaman tingkah laku orang beragam ini tepatnya untuk menangkap makna lebih dalam dari dan intensionalitas dari data religius orang lainyang merupakan ekspresi-ekpresi dari pengalaman religius dan imannya lebih dalam. Seperti kita lihat, sejarah agama membahas aspek-aspek yang paling pokok dari kehidupan manusia sampai menjadi dasar sepenuh-penuhnya bahwa agama adalah sesuatu yang paling dalam dan paling luhur dalam wilayah eksistensi spiritual dan intelektual manusia. Meskipun disadari batas-batasnya dalam tugas memasuki kedalaman pengalaman dari suatu jiwa religius.
Sejarah agama pertama-tama berurusan dengan agama dalam lingkupnya masing-masing. Perkembangannya dalam lingkup yang sama, oleh karena itu sejarah agama mempelajari data religius dalam kaitan historisnya. Bukan saja dengan data religius lain, tetapi juga dengan data yang bukan religius, apakah itu kesusasteran, kesenian, kemasyarakatan dan sebagainya. Lebih dari itu tidaklah cukup hanya mengetahui apa yang tepatnya terjadi dan bagaimana fakta itu didapatkan yang ingin kita ketahui terutama adalah makna dari kejadian itu.
Penyampaian fakta-fakta alam dengan formulasi ilmiah yang cukup detail pada kurun waktu dimana telah berkembang luas keyakinan manusia akan kedataran dan bumi dari ketidakbergerakannya, termasuk salah satu pancaran sinar kenabian yang membuktikan kenabian dan risalah beliau.
DAFTAR PUSTAKA
Maksum Ali, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Pus Apom Press, 2007
Keraf Sony dan Mikhael, Dua Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: KANISIUS, 2001
Dhavomony Mariasuasi, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: KANISIUS, 1995
Dr. An-Najjar Zaqhlul, Pembuktian sains dalam Sunnah, Jilid 2, Jakarta: AMZAH, 2006

Mohammad Muslih, Filsafat Umum, Yogyakarta: Belukar, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar