Metode
Penafsiran Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an
al-karim adalah kitab suci yang shalih
fi kulli zaman wa makan. Dan para ulama
telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka di bidang tafsir ini, dan
menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir.
Metode-metode tafsir yang dimaksud adalah Metode Tahlili, Metode Ijmali, Metode Muqaran, Metode Mawdu’i.
Di dalam tulisan ini, terlebih dahulu akan
dikemukakan pembahasan dan uraian secara ringkas ke empat metode tersebut di
atas:
A.
Tafsir
Tahlili
Tafsir
Tahlili adalah
suatu metode tafsir menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh
aspeknya. Di dalam tafsirnya penafsir mengikuti runtutan ayat sebagai mana yang
telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan
arti kosakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga
mengemukakan munasabah ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat
tersebut satu sama lain. Begitu pula penafsir membahas mengenai asbab an-nuzul dan
dalil-dalil dari Rasul, Sahabat, para Tabiin, yang kadang-kadang berbaur dengan
pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang
pendidikannya, dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan
lainnya dapat dipandang dapat membantu memahami nas al-Qur’an tersebut.
Para
penafsir dengan metode ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian panjang
lebar dan sebaliknya, ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas. Selanjutnya
mereka juga mempunyai kecenderungan dan arah penafsiran yang beraneka ragam. Di
tinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode Tahlili dapat dibedakan
kepada:
1.
al-Tafsir
bi al-Ma’thur
2.
al-Tafsir
bi al-Ra’yi
3.
al-Tafsir
al-Sufi
4.
al-Tafsir
al-Fiqhi
5.
al-Tafsir
al-Falsafi
6.
al-Tafsir
al-‘Ilmi
7.
al-Tafsir
al-Adab al-Ijtima’i
1)
al-Tafsir
bi al-Ma’thur
Yang
di maksud tafsir ini adalah penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan
hadits Nabi SAW, yang menjelaskan makna sebagaian ayat yang dirasa sulit dipahami
oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para Sahabat, atau
penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para Tabiin. Semakin jauh rentang zaman
dari masa Nabi dan Sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna ayat
al-Qur’an semakin berfariasi dan berkembang.
2)
Al-Tafsir bi al-ra’yi
Al-Tafsir bi al-ra’yi
adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir
itu betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al-nuzul, nasikh-mansukh,
dan hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir, seperti yang telah
dikemukakan di dalam uraian mengenai syarat-syarat penafsir.
3)
Al-Tafsir al-Shufi
Seiring
dengan perkembangan zaman dan cakrawala budaya dan juga perkembang pesatnya
ilmu pengetahuan, tasawuf pun berkembang dan membentuk kecenderungan para
penganutnya menjadi dua arah yang mempunyai pengaruh di dalam penafsiran al-Qur’an
al-Karim.
a) Tasawuf Teoritis: Para penganut aliran
ini memcoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasar teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran
mereka. Mereka berupaya dengan maksimal untuk menemukan di dalam al-Quran
tersebut, faktor-faktor yang mendukung teori dan ajaran mereka.
b) Tasawuf Praktis: Adalah tasawuf yang
mempraktekkan gaya hidup sengsara, zuhud dan meleburkan diri di dalam ketaatan
kepada Allah Ta’ala.
4)
Al-Tafsir al-Fiqhi
Berbarengan
dengan lahirnya al-Tafsir al-Ma’thur, lahir pula al-Tafsir al-Fiqhi,
dan sama-sama dinukil dari Nabi SAW tanpa pembedaan antara keduanya. Para Sahabat
setiap menemukan kesulitan untuk memahami hukum yang dikandung dalam al-Qur’an
langsung bertanya kepada Nabi, dan beliau langsung menjawab. Jawaban Rasulullah
ini, di satu pihak, adalah al-Tafsir
al-Ma’thur dan dipihak lain, sekaligus sebagai al-Tafsir
al-Fiqhi. Sepeninggalan Rasulullah, para Sahabat
langsung mencari keputusan hukum dari al-Qur’an dan berusaha menarik kesimpulan
hukum syariat berdasarkan ijtihad, hasil ijtihad mereka ini disebut al-Tafsir
al-Fiqhi. Demikian pula halnya yang terjadi di
masa dan dikalangan para Tabiin.
5)
Al-Tafsir al-Falsafi
Sebagaimana
telah kita ketahui bahwa latar belakang lahirnya berbagai corak tafsir itu
karena tersebarluasnya dan bertemunya aneka budaya. Di tengah-tengah pesatnya
perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan
di masa Dinasti Abbasiyah. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali, dan
aneka macam pustaka diterjemahkan, termasuk buku-buku falsafah karya para filsuf
Yunani.
6)
Al-Tafsir al-‘Ilmi
Ajakan
al-Qur’an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri di atas prinsip pembebasan akal
dari tahayul dan kemerdekaan berpikir. Allah SWT disamping menyuruh kita
memperhatikan wahyu-Nya yang tertulis, sekaligus menganjurkan kita agar memperhatikan wahyu-Nya yang tampak yaitu
alam. Meskipun ayat-ayat kawniyah itu secara tegas tidak ditujukan kepada para ilmuan, namun
pada hakikatnya mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti dan memahami
ayat-ayat kawniyah tersebut, karena mereka mempunyai sarana dan kompetensi
untuk itu dibanding tokoh-tokoh bidang ilmu lainnya, maka sebagian dari mereka
mencoba menafsirkan ayat-ayat kawniyah tersebut berdasarkan prinsip-prinsip kebahasan dan
keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap
gejala atau fenomena alam.
7)
Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Sebagai
salah satu akibat perkembangan modern adalah munculnya corak tafsir yang
mempunyai karakteristik tersendiri berbeda dari corak tafsir lainnya dan
memiliki corak tersendiri yang betul-betul baru bagi dunia tafsir. Corak tafsir
ini berusaha memahami nas-nas al-Qur’an dengan cara, pertama dan utama,
mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan
makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan bahasa yang indah dan
menarik.
Kemudian
dalam langkah berikutnya, penafsir berusaha menghubungkan nas-nas al-Qur’an
yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi,
dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu
dan hanya sebatas kebutuhan.
B.
Tafsir
Ijmali
Tafsir
Ijmali adalah suatu metode tafsir yang
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengemukakan makna global. Di dalam
sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan
susunan yang ada di dalam mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang
dimaksud ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan didalam
rangkaian ayat-ayat atau menurut pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan mudah
dipahami oleh semua orang. Dengan demikian, penafsir metode ini mengikuti cara
dan susunan al-Quran yang membuat masing-masing makna saling berkaitan dengan
yang lainnya.
Didalam
tafsirnya, seorang penafsir menggunakan lafal bahasa yang mirip bahkan sama
dengan lafal al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut
tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri, tidak jauh dari
lafal-lafalnya. Sehingga, di sisi lain, karya ini dinilai betul-betul mempunyai
hubungan erat dengan susunan bahasa yang demikian sangat jelas bagi pendengar
dan mudah dipahami.
C.
Tafsir
Muqarin
Yang
dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan penafsran ayat-ayat al-Qur’an
yang ditulis oleh sejumlah para penafsir. Di sini seorang penafsir menghimpun
sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran
sejumlah penafsir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka,
apakah mereka itu penafsir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah
tafsir mereka itu Tafsir bi al-Ma’thur
maupun Tafsir
bi al-Ra’yi.
Dalam hal ini seorang peneliti
juga berusaha memperbandingkan arah dan kecenderungan masing-masing penafsir,
dan menganalisis tentang apa gerangan yang melatar belakangi seorang penafsir
menuju arah dan memilih kecenderungan tertentu, sehingga sipeneliti dapat
melihat dengan jelas siapa diantara penafsir tersebut yang dipengaruhi oleh
mazhab, dan siapa yang bertendensi untuk memperkuat suatu mazhab.
D.
Tafsir
Maudu’i
Nama
dan istilah Tafsir Maudu’i ini, dalam bentuknya yang kedua, adalah istilah baru dari
ulama zaman sekarang dengan pengertian menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang
mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah
dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian
penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.
Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode Mawdu’i, yang mana ia
meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis
berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok
permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan
betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud
yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar