Sabtu, 15 Juni 2013

Post-Modern Menurut Jean-Francois Lyotard

Post-Modern Menurut Jean-Francois Lyotard

A.     Riwayat Hidup Lyotard

            Jean-Francois Lyotard dilahirkan di Versailles pada tahun 1924. Setelah Perang Dunia II, ia diterima di Universitas Sorbonne dan mengambil filsafat sebagai pokok studinya. Setelah itu, ia menjadi dosen di beberapa universitas. Sepuluh tahun di Universitas Paris VIII (Saint Denis), jabatan yang dipegangnya hingga tahun 1989. Dari tahun 1956 samapai 1966, Lyotard menjadi anggota dewan redaksi jurnal sosialis, Socialisme ou barbarie dan surat kabar sosialis Pouvoir Ouvrier.

            Di samping itu dia menjadi perserta aktif dalam upaya menentang pemerintahan Perancis saat berlangsungnya perang di Aljazair. Pemikiran filsafatnya dipengaruhi oleh Marx dan Kant. Namun pengaruh Marx dalam politiknya hanya disetujuinya pada tahun 1950-an, sebab pada tahun 1960-an dia sudah menjadi seorang filsuf postmodernitas non-Marxis. Ia meninggal pada tahun 1998 dalam usia yang ke-74.[1]

B.     Post-modern Menurut Lyotard

            Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai post-modernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Lyotard memandang post-modernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dengan modernisme. Beberapa diantaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori spesifik, dari sesuatu yang universal menuju sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut adalah mencerminkan tantangan post-modernis kepada modernis. Pemahaman pemikiran post-modernis menjadi penting untuk memahami berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tidak lagi memadai untuk dianalisis hanya berdasarkan paradigma ilmiah modern yang lebih menekankan kesatuan, homogenitas, objektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu pengetahuan dalam pandangan post-modernis lebih menekankan pada pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya lokal/etnis, dan pengalaman hidup sehari-hari.

            Menurut Jean Francois Lyotard, bahwa awalan post pada post-modern, merupakan elaborasi keyakinan modern, sebagai upaya untuk memutus hubungan dengan tradisi modern dengan cara memunculkan cara-cara kehidupan dan pemikiran yang baru. Pemutusan dengan masa lalu (zaman modern) merupakan jalan untuk melupakan dan merepresi masa lalu. Dalam pandangan modernisme, ilmu pengetahuan berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari mitos-mitos yang digunakan masyarakat primitif menjelaskan fenomena alam, dan modernitas adalah proyek intelektual yang mencari kesatuan berdasarkan fondasi sebagai jalan menuju kemajuan.

            Mitos politik ini menganggap sains modern sebagai alat untuk kebebasan dan humanisasi. Sementara dalam pandangan pos-tmodernisme, sains tidak mampu menghilangkan mitos-mitos dari wilayah ilmu pengetahuan. Sementara metanarasi itu berfungsi sebagai mitos baru bagi masyarakat modern. Dalam post-modernisme ide rasionalitas dan humanisme merupakan konstruksi historis, konstruksi sosial budaya dan bukan sesuatu yang bersifat alami (kodrati) dan universal. Sehingga kedua hal tersebut tidak dapat diseragamkan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-historis serta budaya lokal. Keanekaragaman pemikiran menurut Lyotard hanya dapat dicapai dengan melakukan penolakan terhadap kesatuan (unity ), dengan mencari disensus (ketidak sepakatan) secara radikal.
           
            Jean Francois Lyotard merupakan pemikir post-modern yang penting karena memberikan pendasaran filosofis pada gerakan post-modern. Penolakannya terhadap konsep narasi agung (grand narative) serta pemikirannya yang mengemukakan konsep perbedaan dan language games sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity).[2]

a.      Penolakan terhadap Grand Narative (Meta Narasi)

            Bagi Lyotard, penolakan post-modern terhadap narasi agung merupakan salah satu ciri utama dari post-modern, dan menjadi dasar baginya untuk melepaskan diri dari Grand-Narative (Narasi Agung, Narasi besar, Meta Narasi) . Baginya ilmu pengetahuan pra-modern dan modern mempunyai bentuk kesatuan (unity) yang didasarkan pada cerita-cerita besar (Grand-Naratives) yang menjadi kerangka untuk menjelaskan berbagai permasalahan penelitian dalam skala mikro bahkan terpencil sekalipun. Cerita besar itu menjadi kerangka penelitian ilmiah dan sekaligus sebagai justifikasi keilmiahan. Grand Naratives (Metanarasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria kebenaran dan objektifias ilmu pengetahuan. Dengan konsekuensi bahwa narasi-narasi lain di luar narasi besar dianggap sebagai narasi non-ilmiah.

            Penolakan terhadap metanarasi/grand-narasi berarti menolak penjelasan yang sifatnya universal/global tentang realitas, tentang tingkah laku dan sebagainya. Lyotard juga menyatakan bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis, universal, atau transendental (esensialis), melainkan bersifat spesifik, terkait dengan ruang-waktu (historis). Bagi pemikir post-modern ilmu pengetahuan memiliki sifat perspektifal, posisional dan tidak mungkin ada satu perspektif yang dapat menjangkau karakter dunia secara objektif-universal.

            Memudarnya kepercayaan terhadap metanarasi disebabkan oleh proses delegitimasi atau krisis legitimasi, di mana fungsi legitimasi narasi-narasi besar mendapatkan tantangan berat. Contoh delegitimasi adalah apa yang dialami oleh sains sejak akhir abad ke-19 sebagai akibat perkembangan teknologi dan ekspansi kapitalisme. Dalam masyarakat pasca industri, sains mengalami delegitimasi karena terbukti tidak bisa mempertahankan dirinya terhadap legitimasi yang diajukannya sendiri. Pengetahuan sains tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan melainkan demi profit di mana kriterium yang berlaku bukan lagi benar/salah, melainkan kriterium performatif: maximum out put with a minimum input  (menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil mungkin).

            Sains adalah permainan bahasa yang di dalamnya terkandung aturan-aturan normatif (misalnya pembuat proposisi tidak boleh membuat proposisi tanpa menyediakan bukti yang memperkuat proposisinya, pihak kedua tidak bisa memberikan bukti melainkan hanya memberi persetujuan atau penolakannya). Sains dihadapkan pada kenyataan bahwa ia tidak biasa memberlakukan aturan mainnya secara universal hingga berhak menilai mana pengetahuan absah dan mana yang tidak.

            Lyotard yakin bahwa kita memasuki fase di mana logika tunggal yang diyakini kaum modernis sudah mati digantikan oleh pluralitas logika atau paralogi. Perspektivisme tentang ilmu pengetahuan yang berasal dari Nietzche digunakan Lyotard untuk menolak pandangan ilmu pengetahuan yang universal dan total. Menurutnya tidak ada perspektif tunggal tentang realitas objektif yang universal. Manusia tidak memiliki akses untuk melihat dunia sebagaimana nyatanya, anggapan dan keinginan untuk mencapai itu adalah sia-sia. Kebutuhan dan keinginan untuk menemukan kebenaran ilmu pengetahuan, sesungguhnya hanyalah sekedar istilah yang mengacu pada wacana (discourse) yang berhasil dan bermanfaat. Ini berlaku bagi semua pengetahuan dan logika yang selalu bersifat profesional dan perspektif.

            Pada situasi postmodern ini ilmu pengetahuan dan filsafat bertujuan bukan lagi untuk penemuan kebenaran (apalagi kebenaran tunggal) akan tetapi lebih pada tujuan performatif dan nilai-nilai pragmatis. Dalam pandangan Lyotard, relativisme dan kebenaran absolut sama-sama memiliki kelemahan. Kelemahan pandangan kebenaran absolut-universal adalah karena pada kenyataannya ilmuwan memiliki keterbatasan ketika menghadapi (meneliti) realitas. Apalagi kebenaran teori juga bersifat tentative (percobaan), sehingga pandangan bahwa teori bersifat benar secara absolut-universal tidak dapat dibenarkan. Di sisi lain perspektivisme mengarahkan kita pada relativisme ilmiah, tetapi relativisme ilmiah ini tidak identik dengan penolokan akan kebenaran, akan tetapi mengakui kebenaran ilmu yang relatif, yaitu kebenaran sesuai dengan perspektif/paradigma yang digunakan. Bisa jadi perspektif tertentu dianggap lebih memilki kesempurnaan dibanding perspektif yang lain karena lebih akurat, lebih mendekati kebenaran dan lebih berguna.[3]

b.      Language Games
           
            Jean Francois Lyotard menolak untuk menyusun sebuah cara pandang tunggal (paradigma tunggal) yang menyatakan tentang adanya berbagai paradigma, perspektif dalam melihat realitas (dunia). Pandangan modern digantikan dengan post-modern, ilmu pengetahuan digantikan oleh hermeneutika (penafsiran) tentang realitas. Kebenaran ilmu mengacu pada spesifikalitas, historisitas, dan linguistikalitas. Sains setelah mengalami krisis legitimasi terbukti bukan lagi pemonopoli kebenaran tunggal, karena dihadapkan pada kenyataan sekedar satu dari sekian banyak permainan bahasa. Permainan bahasa sains adalah permainan bahasa denotatif. Aturan main permainan bahasa denotatif adalah sebuah pernyataan untuk meyakinkan pihak kedua sebagai pihak yang wajib memberikan persetujuan atau penolakan berdasarkan bukti yang diajukan pihak pertama. Terjadinya pergantian paradigma ilmiah dari mono-paradigma menjadi multi-paradigma ini dianggap sebagai terjadinya keterputusan epistimologis. Ia kemudian membatasi ilmu pengetahuan sebagai permainan bahasa dan mengungkapkan konsep Language Games yang mengacu pada keanekaragaman penggunaan bahasa kehidupan sehari-hari.

            Konsep permainan bahasa merupakan pergeseran dari bahasa sebagai cermin realitas kepada bahasa sebagai suatu permainan, yang memiliki aturan sebagai berikut: a). Pernyataan atau proposisi ilmiah adalah pernyataan denotatif. b). Proposisi ilmiah berbeda dengan proposisi yang menekankan ikatan sosial atau yang terkait dengan asal-usul. c). Kompetensi hanya diperlukan pada pengirim bukan pada penerima. d). Proposisi ilmiah adalah sekumpulan pertanyaan yang dapat diuji oleh bukti dan argumen; e). Berkaitan dengan empat poin tersebut, konsep ini mengharuskan pemahaman tentang situasi pengetahuan ilmiah yang sedang berlangsung. Untuk legitimasi ilmiah, ilmu pengetahuan tidak memerlukan satu narasi karena aturan-aturan ilmiah bersifat imanen dalam permainannya (paradigmanya sendiri). (Leche,1994, sebagaimana dikutip oleh Lubis, 2006).[4]

c.       Anti-Fondasionalisme

            Anti-Fondasionalisme dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa metanarasi (metode, humanisme, sosialisme, universalisme) yang dijadikan fondasi dalam modernitas barat dan hak-hak istimemewanya adalah cacat. Anti-Fondasionalisme itu dapat dimengerti sebagai berikut: a). Anti-Fondasionalis dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa metanarasi yang dijadikan fondasi dalam modernitas Barat dengan universalitas dan hak-hak istimewanya adalah cacat. Maka harus ada model pengetahuan yang lebih sensitif terhadap perbedaan; b). Pemberian hak istimewa pada hal-hal yang bersifat lokal dan vernakuler ini diterjemahkan sebagai seorang demokrat dan populis yang mengharuskan hirarkhi simbolik dikalangan akademik, intelektual dan seni; c). Peralihan dari bentuk upaya diskursif ke arah bentuk budaya figural yang tampak dalam penekanan dan imajinasi visual dan bukan kata-kata, proses primer ego dan bukan proses skunder, apresiasi dengan cara melibatkan diri bukan mengambil jarak dengan penonton yang tidak memihak; d). Aspek ini ditangkap sebagai fase budaya dangkal post-modern. Pandangan ini sejalan dengan Anderson yang mengemukakan ciri kaum post-moernis dengan tidak adanya kemutlakan dalam ilmu pengetahuan dan budaya. Namun justru mendukung pluralisme dengan menyatakan bahwa kita harus berhadapan satu sama lain sebagai orang-orang dengan informasi yang berbeda, cerita dan visi-visi yang berbeda.


           
C.     Penutup

            Post-modern  percaya perbedaan dan keanekaragaman tidak akan menimbulkan konflik dan pertentangan. (Aderson, 1980). Keanekaragaman akan membuat kehidupan semakin indah asal saja pluralisme itu dihadapi dengan keterbukaan, dialog, solidaritas dan bukan egoisme dan anarkisme kelompok. Kebebasan memilih paradigma dan metode sejalan dengan anti-fondasionalisme dan post-modernisme. Dalam ilmu pengetahuan refleksi tentang teori (metanarasi) dan anti-fondasionalisme merupakan hal yang penting dalam ilmu pengetahuan post-modern. Metateori itu sendiri bersifat anti-fondasional, karena seluruh teori yang kuat dan lemah sama-sama berperan dalam kehidupan sosial. Maka metateori melekat dalam post-modern.[5]

            Pemikiran Lyotard sebagai post-modern secara umum sejalan dengan pemikiran para post-modernis lainnya yaitu menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) dari pada persatuan (unity). Anti-fondasionalis dalam filsafat dan ilmu pengetahuan sosial budaya menegaskan bahwa metanarasi yang dijadikan fondasi ilmu pengetahuan, humanisme, sosialisme dan lain-lain, adalah cacat. Untuk itu metode pengetahuan harus lebih sensitif terhadap berbagai perbedaan. Peran para intelektual sebagai legislator kepercayaan digantikan dengan interpreter. Konsep perbedaan, perspektif, multi vokalitas, languge game dan hal-hal yang bersifat lokal lainnya menjadi perhatian khusus dalam pemikiran post-modern menurut Lyotard. Budaya dangkal post-modern sebagai salah satu pengakuan terhadap keterbatasan ilmuan dalam menemukan esensi realitas (kebenaran objektif universal). Pandangan esensialisme yang didukung oleh paradigma positivisme dianggap tidak realistis dan tidak mampu menjelaskan fenomena sosial budaya yang begitu beraneka ragam. Sehingga pemikiran dan konsep-konsep tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian sosial-budaya.



REFERENSI

K. Bertens. 2006.  Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar