Post-Modern
Menurut Jean-Francois Lyotard
A. Riwayat Hidup
Lyotard
Jean-Francois
Lyotard dilahirkan di Versailles pada tahun 1924. Setelah Perang Dunia
II, ia diterima di Universitas Sorbonne dan
mengambil filsafat sebagai
pokok studinya. Setelah itu, ia menjadi dosen di beberapa universitas. Sepuluh
tahun di Universitas Paris VIII (Saint Denis), jabatan yang dipegangnya hingga
tahun 1989. Dari tahun 1956 samapai 1966, Lyotard menjadi anggota dewan
redaksi jurnal sosialis, Socialisme ou barbarie dan surat
kabar sosialis Pouvoir Ouvrier.
Di samping itu dia
menjadi perserta aktif dalam upaya menentang pemerintahan Perancis saat
berlangsungnya perang di Aljazair. Pemikiran filsafatnya dipengaruhi oleh Marx dan Kant. Namun pengaruh Marx
dalam politiknya hanya disetujuinya pada tahun 1950-an, sebab pada tahun
1960-an dia sudah menjadi seorang filsuf postmodernitas non-Marxis.
Ia meninggal pada tahun 1998 dalam usia yang ke-74.[1]
B.
Post-modern Menurut Lyotard
Jean-Francois
Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge
(1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai
post-modernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Lyotard memandang post-modernisme
muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan
dengan modernisme. Beberapa diantaranya adalah gerakan perpindahan dari
fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand
theory) menuju teori spesifik, dari sesuatu yang universal menuju sesuatu
yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju kebenaran yang
beragam. Semua gerakan tersebut adalah mencerminkan tantangan post-modernis
kepada modernis. Pemahaman pemikiran post-modernis menjadi penting untuk
memahami berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tidak lagi memadai
untuk dianalisis hanya berdasarkan paradigma ilmiah
modern yang lebih menekankan kesatuan, homogenitas, objektivitas, dan
universalitas. Sementara ilmu pengetahuan dalam pandangan post-modernis lebih menekankan
pada pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya lokal/etnis, dan
pengalaman hidup sehari-hari.
Menurut Jean
Francois Lyotard, bahwa awalan post pada post-modern, merupakan elaborasi
keyakinan modern, sebagai upaya untuk memutus hubungan dengan tradisi
modern dengan cara memunculkan cara-cara kehidupan dan pemikiran yang
baru. Pemutusan dengan masa lalu (zaman modern) merupakan jalan untuk
melupakan dan merepresi masa lalu. Dalam pandangan modernisme, ilmu
pengetahuan berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari
mitos-mitos yang digunakan masyarakat primitif menjelaskan fenomena alam, dan modernitas
adalah proyek intelektual yang mencari kesatuan berdasarkan fondasi sebagai
jalan menuju kemajuan.
Mitos politik ini
menganggap sains modern sebagai alat untuk kebebasan dan humanisasi. Sementara
dalam pandangan pos-tmodernisme, sains tidak mampu
menghilangkan mitos-mitos dari wilayah ilmu pengetahuan. Sementara
metanarasi itu berfungsi sebagai mitos baru bagi masyarakat modern. Dalam post-modernisme
ide rasionalitas dan humanisme merupakan konstruksi historis, konstruksi sosial
budaya dan bukan sesuatu yang bersifat alami (kodrati) dan universal. Sehingga
kedua hal tersebut tidak dapat diseragamkan tanpa mempertimbangkan kondisi
sosial-historis serta budaya lokal. Keanekaragaman pemikiran menurut Lyotard
hanya dapat dicapai dengan melakukan penolakan terhadap kesatuan (unity ),
dengan mencari disensus (ketidak sepakatan) secara radikal.
Jean Francois
Lyotard merupakan pemikir post-modern yang penting karena memberikan pendasaran
filosofis pada gerakan post-modern. Penolakannya terhadap konsep narasi agung (grand
narative) serta pemikirannya yang mengemukakan konsep perbedaan dan language
games sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity).[2]
a.
Penolakan terhadap Grand Narative
(Meta Narasi)
Bagi Lyotard,
penolakan post-modern terhadap narasi agung merupakan salah satu ciri
utama dari post-modern, dan menjadi dasar baginya untuk melepaskan diri dari Grand-Narative
(Narasi Agung, Narasi besar, Meta Narasi) . Baginya ilmu pengetahuan pra-modern
dan modern mempunyai bentuk kesatuan (unity) yang didasarkan pada cerita-cerita
besar (Grand-Naratives) yang menjadi kerangka untuk menjelaskan berbagai
permasalahan penelitian dalam skala mikro bahkan terpencil sekalipun. Cerita besar
itu menjadi kerangka penelitian ilmiah
dan sekaligus sebagai justifikasi keilmiahan. Grand Naratives
(Metanarasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia yang mencakup segala hal
dan menetapkan kriteria kebenaran dan objektifias ilmu pengetahuan. Dengan
konsekuensi bahwa narasi-narasi lain di luar narasi besar dianggap
sebagai narasi non-ilmiah.
Penolakan terhadap
metanarasi/grand-narasi berarti menolak penjelasan yang sifatnya universal/global
tentang realitas, tentang tingkah laku dan sebagainya. Lyotard juga menyatakan
bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis, universal, atau
transendental (esensialis), melainkan bersifat spesifik, terkait dengan
ruang-waktu (historis). Bagi pemikir post-modern ilmu pengetahuan memiliki
sifat perspektifal, posisional dan tidak mungkin ada satu perspektif yang
dapat menjangkau karakter dunia secara objektif-universal.
Memudarnya
kepercayaan terhadap metanarasi disebabkan oleh proses delegitimasi atau krisis
legitimasi, di mana fungsi legitimasi narasi-narasi besar mendapatkan
tantangan berat. Contoh delegitimasi adalah apa yang dialami oleh sains sejak
akhir abad ke-19 sebagai akibat perkembangan teknologi dan ekspansi
kapitalisme. Dalam masyarakat pasca industri, sains mengalami delegitimasi karena
terbukti tidak bisa mempertahankan dirinya terhadap legitimasi
yang diajukannya sendiri. Pengetahuan sains tidak lagi dihasilkan demi
pengetahuan melainkan demi profit di mana kriterium yang berlaku
bukan lagi benar/salah, melainkan kriterium performatif: maximum out
put with a minimum input (menghasilkan semaksimal mungkin dengan
biaya sekecil mungkin).
Sains
adalah permainan bahasa yang di dalamnya terkandung
aturan-aturan normatif (misalnya pembuat proposisi tidak boleh membuat
proposisi tanpa menyediakan bukti yang memperkuat proposisinya, pihak kedua
tidak bisa memberikan bukti melainkan hanya memberi persetujuan atau penolakannya).
Sains dihadapkan pada kenyataan bahwa ia tidak biasa memberlakukan
aturan mainnya secara universal hingga berhak menilai mana pengetahuan absah
dan mana yang tidak.
Lyotard yakin
bahwa kita memasuki fase di mana logika tunggal yang diyakini kaum modernis
sudah mati digantikan oleh pluralitas logika atau paralogi. Perspektivisme
tentang ilmu pengetahuan yang berasal dari Nietzche digunakan Lyotard untuk
menolak pandangan ilmu pengetahuan yang universal dan total. Menurutnya tidak
ada perspektif tunggal tentang realitas objektif yang universal. Manusia tidak memiliki
akses untuk melihat dunia sebagaimana nyatanya, anggapan dan keinginan untuk
mencapai itu adalah sia-sia. Kebutuhan dan keinginan untuk
menemukan kebenaran ilmu pengetahuan, sesungguhnya hanyalah sekedar
istilah yang mengacu pada wacana (discourse) yang berhasil dan
bermanfaat. Ini berlaku bagi semua pengetahuan dan logika yang selalu bersifat
profesional dan perspektif.
Pada situasi
postmodern ini ilmu pengetahuan dan filsafat bertujuan bukan lagi untuk
penemuan kebenaran (apalagi kebenaran tunggal) akan tetapi lebih pada tujuan
performatif dan nilai-nilai pragmatis. Dalam pandangan Lyotard, relativisme
dan kebenaran absolut sama-sama memiliki kelemahan. Kelemahan pandangan
kebenaran absolut-universal adalah karena pada kenyataannya
ilmuwan memiliki keterbatasan ketika menghadapi (meneliti) realitas. Apalagi
kebenaran teori juga bersifat tentative (percobaan), sehingga pandangan bahwa
teori bersifat benar secara absolut-universal tidak dapat dibenarkan. Di sisi
lain perspektivisme mengarahkan kita pada relativisme ilmiah, tetapi
relativisme ilmiah ini tidak identik dengan penolokan akan
kebenaran, akan tetapi mengakui kebenaran ilmu yang relatif, yaitu
kebenaran sesuai dengan perspektif/paradigma yang digunakan. Bisa jadi
perspektif tertentu dianggap lebih memilki kesempurnaan dibanding
perspektif yang lain karena lebih akurat, lebih mendekati kebenaran dan
lebih berguna.[3]
b.
Language Games
Jean Francois
Lyotard menolak untuk menyusun sebuah cara pandang tunggal (paradigma tunggal)
yang menyatakan tentang adanya berbagai paradigma, perspektif dalam melihat
realitas (dunia). Pandangan modern digantikan dengan post-modern, ilmu
pengetahuan digantikan oleh hermeneutika (penafsiran) tentang realitas.
Kebenaran ilmu mengacu pada spesifikalitas, historisitas, dan linguistikalitas.
Sains setelah mengalami krisis legitimasi terbukti bukan lagi pemonopoli kebenaran
tunggal, karena dihadapkan pada kenyataan sekedar satu dari sekian banyak
permainan bahasa. Permainan bahasa sains adalah permainan bahasa denotatif.
Aturan main permainan bahasa denotatif adalah sebuah pernyataan untuk
meyakinkan pihak kedua sebagai pihak yang wajib memberikan persetujuan atau
penolakan berdasarkan bukti yang diajukan pihak pertama. Terjadinya pergantian
paradigma ilmiah dari mono-paradigma menjadi multi-paradigma ini dianggap
sebagai terjadinya keterputusan epistimologis. Ia kemudian membatasi ilmu
pengetahuan sebagai permainan bahasa dan mengungkapkan konsep Language Games
yang mengacu pada keanekaragaman penggunaan bahasa kehidupan sehari-hari.
Konsep permainan
bahasa merupakan pergeseran dari bahasa sebagai cermin realitas kepada bahasa
sebagai suatu permainan, yang memiliki aturan sebagai berikut: a). Pernyataan atau proposisi
ilmiah adalah pernyataan denotatif. b). Proposisi ilmiah berbeda
dengan proposisi yang menekankan ikatan sosial atau yang terkait dengan
asal-usul. c). Kompetensi hanya diperlukan pada pengirim
bukan pada penerima. d). Proposisi ilmiah adalah sekumpulan pertanyaan
yang dapat diuji oleh bukti dan argumen; e). Berkaitan dengan empat poin
tersebut, konsep ini mengharuskan pemahaman tentang situasi pengetahuan
ilmiah yang sedang berlangsung. Untuk legitimasi ilmiah, ilmu pengetahuan tidak
memerlukan satu narasi karena aturan-aturan ilmiah bersifat imanen dalam
permainannya (paradigmanya sendiri). (Leche,1994, sebagaimana dikutip oleh
Lubis, 2006).[4]
c.
Anti-Fondasionalisme
Anti-Fondasionalisme
dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa metanarasi (metode,
humanisme, sosialisme, universalisme) yang dijadikan fondasi dalam modernitas
barat dan hak-hak istimemewanya adalah cacat. Anti-Fondasionalisme itu dapat
dimengerti sebagai berikut: a). Anti-Fondasionalis dalam teori sosial budaya
dan filsafat menegaskan bahwa metanarasi yang dijadikan fondasi dalam
modernitas Barat dengan universalitas dan hak-hak istimewanya adalah cacat. Maka
harus ada model pengetahuan yang lebih sensitif terhadap perbedaan; b). Pemberian
hak istimewa pada hal-hal yang bersifat lokal dan vernakuler ini
diterjemahkan sebagai seorang demokrat dan populis yang mengharuskan hirarkhi
simbolik dikalangan akademik, intelektual dan seni; c). Peralihan dari bentuk
upaya diskursif ke arah bentuk budaya figural yang tampak dalam penekanan dan
imajinasi visual dan bukan kata-kata, proses primer ego dan bukan proses
skunder, apresiasi dengan cara melibatkan diri bukan mengambil jarak dengan
penonton yang tidak memihak; d). Aspek ini ditangkap sebagai fase
budaya dangkal post-modern. Pandangan ini sejalan dengan Anderson yang
mengemukakan ciri kaum post-moernis dengan tidak adanya kemutlakan dalam ilmu
pengetahuan dan budaya. Namun justru mendukung pluralisme dengan menyatakan
bahwa kita harus berhadapan satu sama lain sebagai orang-orang dengan informasi
yang berbeda, cerita dan visi-visi yang berbeda.
C.
Penutup
Post-modern
percaya perbedaan dan keanekaragaman tidak akan menimbulkan konflik dan
pertentangan. (Aderson, 1980). Keanekaragaman akan membuat kehidupan
semakin indah asal saja pluralisme itu dihadapi dengan keterbukaan, dialog,
solidaritas dan bukan egoisme dan anarkisme kelompok. Kebebasan memilih
paradigma dan metode sejalan dengan anti-fondasionalisme dan post-modernisme.
Dalam ilmu pengetahuan refleksi tentang teori (metanarasi) dan anti-fondasionalisme
merupakan hal yang penting dalam ilmu pengetahuan post-modern. Metateori itu
sendiri bersifat anti-fondasional, karena seluruh teori yang kuat dan
lemah sama-sama berperan dalam kehidupan sosial. Maka metateori melekat
dalam post-modern.[5]
Pemikiran Lyotard
sebagai post-modern secara umum sejalan dengan pemikiran para post-modernis
lainnya yaitu menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity)
dari pada persatuan (unity). Anti-fondasionalis dalam filsafat dan
ilmu pengetahuan sosial budaya menegaskan bahwa metanarasi yang dijadikan
fondasi ilmu pengetahuan, humanisme, sosialisme dan lain-lain, adalah cacat.
Untuk itu metode pengetahuan harus lebih sensitif terhadap berbagai perbedaan.
Peran para intelektual sebagai legislator kepercayaan digantikan dengan
interpreter. Konsep perbedaan, perspektif, multi vokalitas, languge game
dan hal-hal yang bersifat lokal lainnya menjadi perhatian khusus dalam
pemikiran post-modern menurut Lyotard. Budaya dangkal post-modern sebagai salah
satu pengakuan terhadap keterbatasan ilmuan dalam menemukan esensi realitas
(kebenaran objektif universal). Pandangan esensialisme yang didukung oleh
paradigma positivisme dianggap tidak realistis dan tidak mampu menjelaskan
fenomena sosial budaya yang begitu beraneka ragam. Sehingga pemikiran dan
konsep-konsep tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dan kajian sosial-budaya.
REFERENSI
K. Bertens.
2006. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
[1] K. Bertens. Filsafat
Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2006. Hal.
378-398.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar