Sabtu, 15 Juni 2013

The journey of a student Darussalam University in a relationship PTAIN at UIN Sunan Kalidjaga season 1(Perjalanan seorang mahasiswa Universitas Darussalam dalam silaturahmi PTAIN di UIN sunan Kalijaga episode 1)

Hari ke-1: Awal dari Segalanya
Tuhan telah memerintahkan pada setiap insan hamba, untuk memulai segalanya dengan nama-Nya. Dan itu mengingatkan kami untuk berbasmalah. Pagi, itu, hari Senin, tanggal 12 November. Kami bertiga usai basmalah bermodalkan travel berangkat meniggalkan kota Ponorogo. Kota di mana kami sekian tahun ini menimba ilmu, mengkaji karya Syed Naquib al-Attas, mengkritisi tulisan plural Fazlur Rahman. Berbincang dengan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, menghirup  udara hijau sawah setiap hari tatkala ingin pergi ke masjid; Kampus Pusat InstitutStudi Islam Darussalam Siman. Kemana? Satu tujuan; UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Undangannya rapi, dibentuk dalam proposal sekian halaman resmi. Dari mulai halaman paling depan hingga halaman tanda tangan sungguh meyakinkan. Kami takjub, mengingat ini adalah undangan delegasi yang ‘sebenarnya’ setelah terhitung menghadiri sebuah undangan bedah buku di STAIN Ponorogo.  Kami yakin sekali, bahwa acara ini adalah acara yang mengundang banyak inspirator yang ternama. Sepanjang perjalanan kami tak henti-henti menyebut nama Amin Abdullah, Rektor UIN SUKA yang juga alumni Gontor. Kami membayangkan benar, bagaimana sosok beliau yang dulu sarjana SI di ISID itu?
Pukul setengah satu siang, kami tiba di lokasi. Mobil travel berhenti tepat di perempatan utama UIN SUKA. Bermodalkan ilmu tanjim yang diwahyukan turun-temurun oleh Senior, kami menyelonong masuk. Saya menghubungi panitia, Mbak Ita namanya. Orangnya ramah, alumni Gontor Putri juga. Meskipun sebenarnya saya mengetahuinya setelah hari pertama sessi. Mbak Ita datang bersama dengan seorang panitia lain, namanya Mbak Shofa. Mereka menyambut kami. Sedikit memberikan instruksi sebelum akhirnya kami memasuki ruangan Convention Hall. Sejenak kami ragu dengan arahan itu, kaitannya kami kan baru datang, kaos masih melekat,  badan pun masih bau perjalanan. Namun Mbak Ita bilang kalau tidak jadi masalah. Tidak lama berembug, kami pun masuk.
Convention Hall itu besar sekali. Dua lantai. Luasnya bisa dibilang 3 atau bahkan 4 kali lebih luas dari Hall CIOS yang kami banggakan di ISID Siman. Layar backgroundnya bak ingin dipakai konser. Megah luar biasa. Kami sedikit canggung sebenarnya, namun bermodalkan pede. Kami abai saja. Mengisi daftar hadir sebelum memasuki ruangan yang ternyata, sudah memulai acaranya sejak pagi jam 8 tadi! Aih, malu sekali datang terlambat, namun toh sebetulnya mereka sudah memafhumi. Situasi pasca UTS memang mau tak mau membuat kami mengkondisikan diri. Dan mungkin keterlambatan kami di sessi pertama kami menjadi konsekuensi.
Namun begitu masuk, ternyata suasana agak runyam. Masalahnya, banyak delegasi yang kecewa karena seminar perdana yang bersifat ‘penyambutan’ ini  tidak dihadiri Pembantu  rektor (Purek). Otak saya langsung nyambung, berarti Pak Amin Abdullah tidak datang. Acara ‘hanya’ dibawakan oleh Dekan Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran UIN Sunan Kalijaga; Dr. Syaifan Nur. Namun menarik, karena pembicaranya, Dr. Sahiron M.Phil juga turut datang.  Saya khususnya sudah sedikit banyak membaca karya beliau. Yang terkenal salah satunya adalah‘Hermeneutika Madzhab Yogya’. Lepas dari minimnya waktu perkumpulan kami di siang itu kami memperhatikan waktu-waktu terakhir sesi seminar dengan sepenuh hati.
Usai acara, kami melaksanakan ISHOMA.  Menit-menit istirahat mulai kami gunakan untuk mengenal satu sama lain. Di sini lah pertama kalinya kami mengenal sosok-sosok mahasiswa dari luar ISID. Delegasi dari IAIN Ar-Raniry Aceh, IAIN Jambi, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang, IAIN Cirebon, UIN Alauddin Makassar, IAIN Sunan Ampel Surabaya, bahkan ISI Fahmina juga datang! Kami sedikit berdiskusi soal keadaan kampus masing-masing.  Salah satu wacana yang menarik adalah bahwa salah seorang delegasi dari UIN SUSKA Riau ternyata angkatan kami di Gontor! Keakraban langsung menyelimuti. Fazli, namanya. Adalah seorang alumni pondok pesantren di Riau, dan usai mengabdi setahu di sana dia dan beberapa rekan seperti Ali Mu’allim dan Muspiandi berangkat ke Gontor.
Walhasil, mereka di Gontor langsung kelas V! Mungkin bisa dibilang sedikit reuni. Namun lepas dari itu, satu hikmah yang barusan kami dapat adalah, alumni Gontor benar-benar di mana-mana. Meski sudah terpisah sekian tahun, asalkan Allah menghendaki. Pasti akan bertemu lagi.
Sekian menit habis dengan ngobrol, Mbak Shofa datang. Tangannya memegang absen, dia memastikan kehadiran masing-masing delegasi, satu persatu. Aih, lama dilihat-lihat, mbak Shofa ini sosok gadis yang semangat. Perkatannya tegas dan terkesan acuh. Itu mungkin salah satu sisi yang bagus, namun kalau mengingat arus feminisme yang termasuk deras membanjiri PTAIN khususnya, saya juga jadi kalut. Gender banget kesannya. Shofa memberikan instruksi soal pemberangkatan kami ke tempat konferensi yang sesungguhnya. Kami manggut-manggut, benar-benar seperti kerbau dicocok hidung. Padahal mayoritas kami laki-laki. Mas Bahar delegasi jakarta itu yang paling getol ‘melawan’. Namun pada akhirnya  toh dia tunduk juga.
***
Kami berangkat dengan bus sewaan. Kendaraan sederhana, ala mahasiswa. Mas Hasbi dan Majid duduk di kursi di depan saya, sementara saya sendiri duduk dengan Fazli. Memulai lagi pembicaraan dengan sebuah keprihatinan bahwa di UIN SUSKA, untuk referensi tidak bisa menggunaan bahan berformat digital (pdf). Semua referensi, khususnya untuk skripsi wajib mengunakan buku cetak.
            Miris, padahal digitalisasi sungguh amat membantu. Saya ingat benar, untuk mengoleksi Jami’ Shahih Bukhari  yang langka di Indonesia itu bisa saya miliki, dengan format pdf. Tidak hanya itu, buku-buku berbahasa asing yang memang selayaknya duduk di referensi utama bisa kita miliki dalam bentuk digital. Namun untuk kejadian di UIN SUSKA ini sungguh memprihatinakan, entah apa yang mendasari. Namun kami semua di sana sepakat untuk berharap, bahwasanya pernyataan dogmatis semacam itu agar cepat hengkang dari sana. Pasalnya, tentu akan jadi masalah besar tatkala ingin mengkaji pemikiran tokoh yang secara otomatis akan membutuhkan langsung karya-karyanya, dalam bahasa asli. Fazli mengiyakan itu, dia berburu kitab al-munqidz min al-dhalal yang menjadi referensi utamanya soal pendidikan al-Ghazali itu  hingga kemana-mana. Namun hasilnya bisa dibilang nihil. Memprihatinkan memang, namun dalam hati kami bersyukur. Karena di ISID Siman, belum ada aturan yang sedemikian mengekang untuk penggunaan digital reference sebagai sumber autentik utama.
Namun selain curahan hati yang semacam itu, ternyata duduk bersama Fazli ada berkahnya juga. Dia menerangkan bagaimana kritik al-Ghazali terhadap Filosof Neo –Platonisme seperti al-Farabi, al-Kindi dan Ibnu Sina. Di antara 12 kritikan yang dilontarkan, ada tiga yang paling utama menurut Fazli disampaikannya.
            Pertama, al-Ghazali mengkritik konsep pengetahuan Tuhan menurut Filosof Neo Platonisme. Menurut al-Farabi dst. Tuhan hanya mengetahui sesuatu yang kully (global) saja. Bukan juz’iy (spesifik) Namun al-Ghazali berpendapat lain, Tuhan mengetahui segala macam hal. Baik kully maupun juz’iy. Kedua, Tatkala Filosof. Dan ketiga, al-Ghazali juga mengkritik konsep kebangkitan yang dipercayai ibnu Sina, hanyalah mengangkut ruh. Tanpa jasad. Sedangkan menurut al-Ghazali, jika Tuhan sudah berkehendak, apa yang bisa ditolak?
            Sampai di tempat acara, ternyata sungguh jauh dari harapan kami. Tatkala kami berharap untuk mendapatkan lokasi yang tetap strategis di sekitar UIN, ternyata kami salah. Kami malah pergi ke lokasi Youth Centre, gedung serbaguna milik perda Yogya urusan Olahraga dan Pemuda. Aih, nahas benar. Benar-benar jauh dari peradaban, dan yang paling parah; Tidak ada warung!! Aduh! Lima menit berlalu sebelum akhirnya kita ketahui bahwa ternyata Youth Centre ini sudah masuk jalan menuju Magelang, di wilayah Sleman.  Aih, gunung lah, pokoknya. Keluhan itu tidak hanya keluar dari mulut kami, namun juga dari kepala-kepala delegasi yang lain.
            Toh ternyata sebagian yang ada di otak kami juga ada di otak mereka. Delegasi IAIN Antasari dan UIN Alauddin Makassar mungkin tidak lupa berpikir untuk jalan-jalan, sudah jauh-jauh mana mungkin langsung pulang?Namun toh apa dikata. Sebenarnya polemik semacam ini bisa dibilang teknis, namun bagaimana lagi. Meski menyesal karena tidak sempat untuk nantinya main-main di perpustakaan UIN untuk sekedar berburu buku, kami berharap paling tidak ada sesuatu yang baru di sini.
Paling tidak, itu harapan kami.
***
Malamnya, usai makan malam dan shalat Isya’, konferensi pun dimulai. Untuk perdana ini masih soal perkenalan dari masing-masing delegasi Kampus. Menarik, karena ternyata slogan atau teriakan yang menjadi semacam ciri khas tidak hanya ada di ISID, namun juga di kampus-kampus lain. IAIN Ar-Raniry Aceh dengan “Yang Terbaik!”, IAIN Surabaya dengan “SATU”, STAIN Ponorogo dengan “ASHU”. Eh, yang terakhir ini sungguhan! ASHU itu menurut tafsiran anak-anak STAIN Ponorogo artinya ‘Anak Ushuluddin’. Aih, tidak berkesan tarbawi memang. Namun begitulah mereka menyebut mereka.
Tatkala kami mendapatkan giliran untuk memperkanalkan diri. Jelas, Kami meneriakkan ANDCIS.Soal makna tentu kami jelaskan kemudian. Namun yang kami sadari, bahwa tidak ada makna yang lebih filosofis dari pada slogan kami. ANDCIS pada kenyataannya memang bukan sekedar ucapan. Namun dia adalah kata yang mampu meledakkan sejuta sumbu semangat perang ISID Siman. Itu kenyataan.
Maka usai memporak-porandakan audience dengan segenap teriakan, sesi pertama konferensi pun usai. Tepat pukul jam setengah sembilan malam.
            Dan coba tebak apa yang kami kerjakan setelah itu? Ya, kami melakukan kajian bersama, di depan rayon. Bermula dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, kemudian bagaimana isu pragmatisme pendidikan, konsep akhlaq, dikotomi Ilmu, konsep sekular, Islamization of Knowledge,dan akhirnya hingga diskusi yang saya tunggu-tunggu dan memang menyerempet ideologi; Hermeneutika.Sepanjang diskusi, salah satu yang saya tangkap adalah bahwa mayoritas rekan PTAIN menganggap ilmu itu sebagai sebuah  sesuatu yang bebas nilai. Ilmu diniscayakan menjadi sebuah esensi yang bergantung pada ‘siapa’ yang menggunakan dan ‘untuk apa’ digunakan. Namun saya tetap teguh, dengan sebuah analogi simpel dan logis; ‘Selama masih ada tafsir, maka untuk apa ada hermeneutika?’ diskusi yang berputar sekitar hermeneutika pun hanya berkutat sekitar 4 menit saja. Karena pada dasarnya, rekan-rekan delegasi menyadari bahwasanya benturan ideologi semacam ini akan menghabiskan waktu yang lama uuntuk didiskusikan. Mereka pun di akhir menerima pendapat saya, bahwa toh diskusi ini bisa dilanjutkan di ranah jurnalistik dan kepenulisan. Karena ‘pertandingan’ ideologi yang berdasarkan referensi yang gamblang akan lebih menjalin lebih kuat rantaian epistemologi. Mengingat bagaimana yang baru saya sampaikan di atas soal bagaimana al-Ghazali mengkritik Ibnu Sina, lantas dilanjutkan oleh Ibnu Rusyd.
            Jam sepuluh malam saya undur diri, meskipun forum diskusi belum usai secara resmi namun toh disiplin waktu tetap terjaga. Saya ingat-ingat benar petuah Mas Arif Maulana, ketua SMF Ushuluddin periode 2009. Katanya, kalau mahasiswa Ushuluddin di luar itu sudah diskusi, bisa sampai pagi. Aih, dan itu benar. Besok paginya saya dapat laporan dari Mas Rahmat, delegasi UIN Alauddin Makassar, kalau diskusi itu berakhir tepat jam 4 pagi. Ada-ada saja.
Jikalau lama kelamaan, budaya diskusi semacam ini terus dilestarikan, nanti sekiranya bakal ada pertandingan antar ‘murid-muridnya’ para Cendikiawan Muslim Indonesia.  Pernah kebayang kalau ‘anak’ dari Komarudin Hidayat bertanding intelektual dengan ‘anak’ Hamid Fahmy?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar