Sabtu, 15 Juni 2013

The journey of a student Darussalam University in a relationship PTAIN at UIN Sunan Kalidjaga season 2(Perjalanan seorang mahasiswa Universitas Darussalam dalam silaturahmi PTAIN di UIN sunan Kalijaga episode 2)

Hari Ke-2: Api Mahasiswa
Kalimat Bung Karno soal 10 pemuda memang teramat filosofis. Jikalau dicermati, tentu akan berimplikasi pada banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengharuskan pernyataan ‘Berikan aku sepuluh pemuda maka aku akan goncangkan dunia’ itu menjadi sebuah pernyataan yang argumentatif. Contohnya; Pemuda macam ‘apa’ yang diinginkan Bung Karno? Atau dengan bahasa lain; ‘Pemuda seperti apa yang Bung Karno maksud? dan seterusnya.
Dan sekarang, kalau sekedar datang dengan analogi; Pemuda yang diinginkan Bung Karno adalah kaum muda yang Ulama, namun juga intelek. Ulama, dalam artian taat beragama, berani membela agama, dan tidak akan pernah menjual agamanya demi setetes kenikmatan sesaat demi apapu jua. Intelek, mampu berkontribusi dan berkecimpung di ranah modern. Tidak ketinggalan dengan segalam macam perkembangan yang ada, bahkan justru memanfaatkan dan menjadikannya wasilah untuk Li’i’laai kalimaatillah. Pemuda itu adalah mahasiswa, dan tidak lain yang berasal dari perguruan tinggi islam sebagai pusat studi dirasat al-islamiyyah sebagai asas peradaban.
Dan di sesi kedua konferensi ini, identitas masing-msing perguruan tinggi benar-benar dipertaruhkan. Hari ini kami benar-benar memasuki fragmen inti dari konferensi  bertemakan “Ushuluddin di Tengah-Tengah Pragmatisme Pendidikan”. Acara mulai pukul delapan pagi.  ‘Bang’ Abdul Faiz Aziz, mahasiswa pascasarjana UIN SUKA yang kini membawakan acara.
Setelah duduk per-delegasi, Bang Aziz melemparkan pertanyaan ; “Benarkan Fakultas Ushuluddin belum mampu memformulasikan ilmunya pada tataran praktis?”  Aih, pertanyaan menjebak. Mungkin dalam bahasa lain yang lebih gamblang, “Benarkah Fakultas Ushuluddin akan melahirkan wisudawan/wati yang mandesu dan tidak bisa berkiprah di ranah empiris?” Namun beruntung, pertanyaan itu hanya sekedar kelakar belaka. Pertanyaan itu hanya sekedar kelakar untuk mengantkan kami ke pertanyaan inti; “Kenapa Masyarakat Kita Sangat Pragmatis?” kemudian pertanyaan kedua “Apakah pragmatisme terjadi di kampus kita masing-masing” dan ketiga, “Bagaimana tiap-tiap perguruan tinggi menanggulanginya?”
Jawaban pun datang beraneka ragam. IAIN Cirebon berpendapat bahwa salah satu penyebab yang bisa menjadi tertuduh atas ke-pragmatis-an masyarakat Indonesia adalah sistem pendidikan yang disodorkan, memang pada banyak contoh menyodorkan hal-hal yang berbau pragmatis. IAIN Serang, sepakat bahwa masyarakat kita lebih condong pada hal-hal yang berorientas manfaat. Dari UIN SUSKA lebih ganas; kurangnya akhlaq! Mungkin kajian berasaskan tauhid anti dikotomi sekularis yang mereka sepakati tadi malam boleh jadi menjadi salah satu faktor. IAIN Tulung Agung menyatakan, bahwa untuk semacam ini adalah keterpengaruhan pemerintah Indonesia. Hegemoni ini bak menjadikkan sebuah pengaruh yang sudah melebih komponen pandangan hidup, lama kelamaan mengerucut, mengkhusus sehingga akhirnya menjadi pandangan hidup yang bersifat individual.
Kami sebelumnya kebingungan dengan jawaban macam apa yang ingin kami lontarkan. Mafhum saja, karena di ISID jelas tidak ada paham pragmatis semacam itu.  ‘Tujuan’ yang menjadi prospek tiap-tiap pribadi di Gontor adalah ibadah, itu jelas. Bukan sekedar mencari hidup, namun juga menghidupkan. Di Gontor  digodok mental-mental perjuangan. Mental tempe yang semacam menuntut gaji itu tidak ada. Lebih gamblang dapat saya katakan, bahwa Gontor telah ter-problem solving bahkan sejak Gontor berdiri pada tahun 1926. Jadi, mohon maaf saja tatkala di awal sesi kami ‘salah’ dalam menjawab pertanyaan. Perkaranya otomatis yang telah saya sebutkan di atas tadi. Paradigma Gontor berbeda jauh. Itu faktanya.
Maka ketika lompat ke pertanyaan kedua (soal problematika berbau pragmatisme yang ada di kampus masing-masing), kami langsung gabungkan jawabannya dengan pertanyaan ketiga (Bagaimana tiap-tiap perguruan tinggi menanggulanginya). Pasalnya, kami terangkan langsung mekanisme yang berjalan di Gontor seperti apa, kenapa tidak ada pragmatisme sebagaimana yang terkonsep baik secara umum maupun sebagaimana dirangkai oleh rekan-rekan delegasi. Dalam waktu yang sedemikian singkat kami berusaha jelaskan kaitan antar panca jiwa, motto pondok, dengan fenomena yang berlangsung di ISID Siman.  Di pertengahan, mereka pun mulai menangkap realitas yang berlari di kenyataan kampus Siman adalah pragmatisme hanyalah sebuah aib yang tak pernah ada.
Lantas, soal penyelesaian. Karena status problematikanya nihil, maka tentu  problem resolving-nya pun tidak diperlukan. Namun dalam kedudukan kami peserta delegasi yang juga diharapkan penuh kontribusinya, tentu kami berpikir keras soal itu. Minimal, kita bisa memberikan segenap masukan yang bisa dipertimbangkan guna menjadi jalan keluar masalah ini.
Inti yang dari kami sampaikan terakhir, adalah untuk menaruh Ushuluddin sebagai ‘ruh’ yang bisa menghidupi kegiatan Perguruan Tinggi. Jikalau diteliti, Ushuluddin adalah satu-satunya fakultas di Perguruan Tinggi Islam yang mempunyai bidang konsentrasi penuh ke pada diraasaat al-Islamiyyah atau studi islam. Mendalami agama sebagai dasar adalah perintah Tuhan yang mutlak, karena  man yazdad lahu ‘ilman wa lam yazdad lahu hudan fala yazdadu lahu min Allahi illa bu’dan itu adalah sebuah indikasi bahwa ‘mestinya’ orang yang berilmu itu akan lebih menghamba pada Tuhan. Orang yang  berilmu dalam bahasa arab dinamakan‘alim, jamaknya ‘Ulama. Fa man hum al-‘Ulama?( Maka siapakah para ulama itu?) Jawabannya; Warastatu al-anbiya’. Ulama itu adalah pewarisnya para Nabi.
Di sini jelas sekali kedudukan seorang yang mendalami ilmu agama adalah orang menduduki jabatan yang sangat tinggi, di sisi Allah. Namun sayang , teori itu belum bisa menjangkau penuh ranah praktis. Paham itu telah lebih dulu terhegemoni dengan sudut pandang praktis yang lebih menginginkan kesejahteraan dalam bentuk spefisik dan riil.
Dan itu yang hari ini tengah melanda sejumlah PTAIN/PTAIS di Indonesia. Otomatis menjadi sebuah problema. Namun tatkala kami mulai menyampaikan hal yang masuk di nalar itu, syukur sekali rekan-rekan delegasi mau mendengarkan.
Maka langsung saya datangkan contoh; Mas Hasbi Arijal yang kini berkedudukan di Kepala Departemen Pengabdian Masyarakat yang membawahi 7 TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) di desa-desa sekitar kecamatan Siman, juga 20 SD binaan gerakan pramuka. Mas Majid lebih ganas lagi,  saya paparkan kedudukan ‘Beliau’ sebagai ketua koordinator KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) yang melingkupi wilayah Ponorogo dan Madiun. Sementara saya sendiri? Saya katakan saja dengan santai, bahwa syukur alhamdulillah di samping menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, pada hari ini pun saya masih dipercaya menjadi Koordinator di Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS) di bawah bimbingan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. M.A. ed. M.Phil. Para peserta delegasi pun riuh rendah seketika.
Namun itu bukan sekedar olok-olok, kami hanya menyampaikan informasi tanpa sedikitpun reduksi realitas. Pendek kata, pemaparan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka berdecak kagum.
Karena pada kenyataannya, pandangan rekan-rekan delegasi telah terkukung dalam segenap konsep soal peluang kerja, sempitnya pandangan untuk hidup, dsb. Itu adalah perspektif yang mesti diubah. Karena Ulama tidak hanya sekedari mengajar atau jadi PNS, namun juga bisa berbisnis, berwiraswasta, dan melakukan segenap pekerjaan yang tidak terbatas oleh ikatan sebagaimana PNS. Itu adalah kelebihan yang mestinya disadari oleh tiap-tiap mahasiswa Ushuluddin.
Maka sebuah kesyukuran sekali tatkala toh memang pada kenyataannya, kehadiran kami bisa berkontribusi. Bang Aziz yang membawakan acara menyambut baik konsep tersebut dengan sekian kalimat apresiasi, lantas melemparkannya kembali ke pada segenap peserta delegasi sebagai sebuah alternatif solusi atas pragmatisme yang tengah melanda mereka.
***
Sebagaimana telah saya tulis di atas, bahwa hari kedua ini adalah hari yang menjadi puncak acara. Maka seusai sesi pertama di pagi hari yang termasuk cukup ‘panas’ tadi lantas dilanjutkan kembali di sesi kedua, usai makan siang. Sesi kali ini adalah merumuskan  sekian poin rekomendasi untuk DIKTIS sebagai penyelesaian ‘pragmatisme pendidikan’ yang tengah dibincangkan. Ada sekian poin di sana yang terbagi menjadi dua; Yakni rekomendasi ke Pusat dan ke Dekanat di antaranya adalah:
A.                REKOMENDASI KE PUSAT
1.                  Meminta kepada pihak DIRJEN PENDIS agar lulusan sarjana Ushuluddin mendapat legalitas sebagai tenaga pengajar berdasarkan peraturan pemerintah No. 74 tentang profesionalisme guru (Al-Qur’an Hadis dan Aqidah Akhlak).
2.                  Membentuk lembaga yang menaungi resolusi konflik agama.
3.                  Menjalin kerjasama dengan instansi internasional (kedubes).
4.                  Pemberian gelar kesarjanaan sesuai jurusan keilmuan di lingkungan Fakultas Ushuluddin.
5.                  Menindaklanjuti jurusan-jurusan yang ingin dihapus di fakultas Ushuluddin di beberapa PTAI.
6.                  Mengklarifikasi jurusan-jurusan yang ada di  Fakultas Ushuluddin.
7.                  Mengapresiasi lulusan ushuluddin dengan bentuk yang sesuai dengan keilmuan pada tiap jurusan di Ushuluddin.
8.                  Beasiswa full khusus untuk Ushuluddin.
9.                  Memasukkan kurikulum pengantar ke-Ushuluddin-an (perbandingan agama, filsafat Islam dan sosiologi agama) ke dalam kurikulum Madrasah Aliyah (MA).
10.              Membuat jurusan keagamaan di Madrasah Aliyah (MA) dan sederajat.

B.                 REKOMENDASI KE DEKANAT
1.                  Menjalin kerjasama dengan instansi lain.
2.                  Inovasi kurikulum yang tetap mengkedepankan keilmuan Ushuluddin.
3.                  Memperbaiki kualitas dosen (SDM).
4.                  Standarisasi kelimuan dosen harus ditingkatkan.
5.                  Pembibitan dan pemberdayaan SDM alumni Fakultas Ushuluddin.
6.                  Pendampingan masyarakat.
7.                  Membuat laboratorium-laboratorium dengan fokus pengembangan keilmuan prodi.
8.                  Pembekalan mahasiswa bidang soft skill, setelah lulus tidak mencari-cari pekerjaan, tetapi membuka pekerjaan.
9.                  Ada stimulus bantuan karya tulis ilmiah yang dipublikasikan.

Itu adalah poin-poin yang berhasil dirumuskan oleh rekan-rekan mahasiswa Ushuluddin. ISID Siman, juga termasuk memberikan kontribusi untuk beberapa poin. Mungkin terutama untuk pemberian gelar untuk wisudawan/wisudawati fakultas Ushuluddin. Perkaranya, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekalipun gelar S.Th.i dan S.Fil.i telah tergeser dengan gelar S.Ud. Ah, seperti kejadian di ISID dua tahun yang lalu. Kalau mengingat getolnya Ust. Rif’at Husnul Ma’afi, dekan fak. Ushuluddin ISID yang kini tengah berdomisili sebagai guru senior di Gontor soal gelar itu akan miris sendiri. ISID sendiri bisa, namun kenapa UIN tidak?
Padahal, kami kira pemberian gelar itu sendiri merupakan spesialisasi yang penting dalam spesifikasi keilmuan. Bukan sembarangan. Ust. Rif’at dulu pernah berkelakar di kelas, ‘La terus yang Tarbiyah mau pakai S.Tar (STAR) gitu?’. Kami tertawa saja mendengarnya.
***
Sesi malam, benar-benar sesi yang memuakkan. Hari terakhir, namun ternyata jauh lebih parah dari yang kami rasakan selama ini.
Rencana terselubung. Itu dia. Tatkala 3 fraksi yang bertugas untuk merumuskan rekomendasi DIKTIS dan Dekanat sudah selesai tepat jam 9, kami kira kami akan berangkat istirahat untuk penutupan besok pagi. Toh, kan sudah selesai? Begitu pikir kami.
Namun ternyata itu hanya mimpi. Panitia ternyata sudah mempersiapkan berkas untuk melaksanakan Musyawarah Luar Biasa FORMADINA (Forum Mahasiswa Ushuluddin se Indonesia). Peserta otomatis ricuh. Yang parah, acara malam itu ternyata diperpanjang hingga jam satu malam, untuk membahas GBHA (di ISID biasa disebut GBHK), AD/ART!! Gila! Kami jelas takut sekali. Bagaimana kita bisa bicara ke atasan ketika pulang nanti soal organisasi ini yang ISID jelas diharamkan benar untuk sekedar kontribusi?
            Namun akhirnya kami berusaha mendinginkan kepala. Kami bersikukuh dengan pendirian; Bahwa untuk seminar, konferensi ataupun acara yang bersifat pelatihan, ISID Siman bisa kontribusi. Namun untuk soal organisasi, mohon maaf saja. Aturan Gontor bersifat mutlak. Tidak bisa diganggu gugat.
            Beberapa delegasi sempat heran, bahkan menuntut kami untuk tetap ikut. Sebuah kesyukuran bahwa pendapat kami ‘dibutuhkan’, namun untuk kali ini, kami benar-benar tidak bisa toleransi. Sebisa mungkin kami menerangkan tentang sistem Gontor soal tidak boleh keikutsertaan kami untuk organisasi semacam ini. Untuk tahap regional pun itu masih harus dipertimbangkan, apalagi yang ini; skala Nasional! Ingat sekali tatkala Mas Bahtiar dai IAIN Jambi menyatakan soal hak berbicara di forum, kami menjawab; ‘Iya, itu hak. BUKAN kewajiban. Kami tetap akan berkonstribusi dengan sepenuh daya kami.’ Dan mereka pun membiarkan.

            Tidak harus banyak yang dibicarakan di sesi malam ini. Telinga sudah hilang fungsinya, terhapus oleh silatnya lidah. Mungkin laporan hari ketiga akan cukup mewakili laporan untuk sesi ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar