Hari Ke-2: Api Mahasiswa
Kalimat Bung Karno soal 10 pemuda memang
teramat filosofis. Jikalau dicermati, tentu akan berimplikasi pada banyak
pertanyaan-pertanyaan yang mengharuskan pernyataan ‘Berikan aku sepuluh
pemuda maka aku akan goncangkan dunia’ itu menjadi sebuah pernyataan yang
argumentatif. Contohnya; Pemuda macam ‘apa’ yang diinginkan Bung Karno?
Atau dengan bahasa lain; ‘Pemuda seperti apa yang Bung Karno maksud? dan seterusnya.
Dan sekarang, kalau sekedar datang dengan
analogi; Pemuda yang diinginkan Bung Karno adalah kaum muda yang Ulama, namun
juga intelek. Ulama, dalam artian taat beragama, berani membela agama, dan
tidak akan pernah menjual agamanya demi setetes kenikmatan sesaat demi apapu
jua. Intelek, mampu berkontribusi dan berkecimpung di ranah modern. Tidak
ketinggalan dengan segalam macam perkembangan yang ada, bahkan justru
memanfaatkan dan menjadikannya wasilah untuk Li’i’laai kalimaatillah.
Pemuda itu adalah mahasiswa, dan tidak lain yang berasal dari perguruan tinggi
islam sebagai pusat studi dirasat al-islamiyyah sebagai asas peradaban.
Dan di sesi kedua konferensi ini, identitas
masing-msing perguruan tinggi benar-benar dipertaruhkan. Hari ini kami
benar-benar memasuki fragmen inti dari konferensi bertemakan “Ushuluddin di Tengah-Tengah
Pragmatisme Pendidikan”. Acara mulai pukul delapan pagi. ‘Bang’ Abdul Faiz Aziz, mahasiswa
pascasarjana UIN SUKA yang kini membawakan acara.
Setelah duduk per-delegasi, Bang Aziz
melemparkan pertanyaan ; “Benarkan Fakultas Ushuluddin belum mampu
memformulasikan ilmunya pada tataran praktis?”
Aih, pertanyaan menjebak. Mungkin dalam bahasa lain yang lebih gamblang,
“Benarkah Fakultas Ushuluddin akan melahirkan wisudawan/wati yang mandesu dan
tidak bisa berkiprah di ranah empiris?” Namun beruntung, pertanyaan itu hanya
sekedar kelakar belaka. Pertanyaan itu hanya sekedar kelakar untuk mengantkan
kami ke pertanyaan inti; “Kenapa Masyarakat Kita Sangat Pragmatis?” kemudian
pertanyaan kedua “Apakah pragmatisme terjadi di kampus kita masing-masing” dan
ketiga, “Bagaimana tiap-tiap perguruan tinggi menanggulanginya?”
Jawaban pun datang beraneka ragam. IAIN
Cirebon berpendapat bahwa salah satu penyebab yang bisa menjadi tertuduh atas
ke-pragmatis-an masyarakat Indonesia adalah sistem pendidikan yang disodorkan,
memang pada banyak contoh menyodorkan hal-hal yang berbau pragmatis. IAIN
Serang, sepakat bahwa masyarakat kita lebih condong pada hal-hal yang
berorientas manfaat. Dari UIN SUSKA lebih ganas; kurangnya akhlaq! Mungkin
kajian berasaskan tauhid anti dikotomi sekularis yang mereka sepakati tadi
malam boleh jadi menjadi salah satu faktor. IAIN Tulung Agung menyatakan, bahwa
untuk semacam ini adalah keterpengaruhan pemerintah Indonesia. Hegemoni ini bak
menjadikkan sebuah pengaruh yang sudah melebih komponen pandangan hidup, lama
kelamaan mengerucut, mengkhusus sehingga akhirnya menjadi pandangan hidup yang
bersifat individual.
Kami sebelumnya kebingungan dengan jawaban
macam apa yang ingin kami lontarkan. Mafhum saja, karena di ISID jelas tidak
ada paham pragmatis semacam itu.
‘Tujuan’ yang menjadi prospek tiap-tiap pribadi di Gontor adalah ibadah,
itu jelas. Bukan sekedar mencari hidup, namun juga menghidupkan. Di Gontor digodok mental-mental perjuangan. Mental
tempe yang semacam menuntut gaji itu tidak ada. Lebih gamblang dapat saya
katakan, bahwa Gontor telah ter-problem solving bahkan sejak Gontor
berdiri pada tahun 1926. Jadi, mohon maaf saja tatkala di awal sesi kami
‘salah’ dalam menjawab pertanyaan. Perkaranya otomatis yang telah saya sebutkan
di atas tadi. Paradigma Gontor berbeda jauh. Itu faktanya.
Maka ketika lompat ke pertanyaan kedua (soal
problematika berbau pragmatisme yang ada di kampus masing-masing), kami
langsung gabungkan jawabannya dengan pertanyaan ketiga (Bagaimana tiap-tiap perguruan
tinggi menanggulanginya). Pasalnya, kami terangkan langsung mekanisme yang
berjalan di Gontor seperti apa, kenapa tidak ada pragmatisme sebagaimana yang
terkonsep baik secara umum maupun sebagaimana dirangkai oleh rekan-rekan
delegasi. Dalam waktu yang sedemikian singkat kami berusaha jelaskan kaitan
antar panca jiwa, motto pondok, dengan fenomena yang berlangsung di ISID
Siman. Di pertengahan, mereka pun mulai
menangkap realitas yang berlari di kenyataan kampus Siman adalah pragmatisme
hanyalah sebuah aib yang tak pernah ada.
Lantas, soal penyelesaian. Karena status
problematikanya nihil, maka tentu problem
resolving-nya pun tidak diperlukan. Namun dalam kedudukan kami peserta
delegasi yang juga diharapkan penuh kontribusinya, tentu kami berpikir keras
soal itu. Minimal, kita bisa memberikan segenap masukan yang bisa
dipertimbangkan guna menjadi jalan keluar masalah ini.
Inti yang dari kami sampaikan terakhir, adalah
untuk menaruh Ushuluddin sebagai ‘ruh’ yang bisa menghidupi kegiatan Perguruan
Tinggi. Jikalau diteliti, Ushuluddin adalah satu-satunya fakultas di Perguruan
Tinggi Islam yang mempunyai bidang konsentrasi penuh ke pada diraasaat
al-Islamiyyah atau studi islam. Mendalami agama sebagai dasar adalah
perintah Tuhan yang mutlak, karena man
yazdad lahu ‘ilman wa lam yazdad lahu hudan fala yazdadu lahu min Allahi illa
bu’dan itu adalah sebuah indikasi bahwa ‘mestinya’ orang yang berilmu itu
akan lebih menghamba pada Tuhan. Orang yang
berilmu dalam bahasa arab dinamakan‘alim, jamaknya ‘Ulama. Fa
man hum al-‘Ulama?( Maka siapakah para ulama itu?) Jawabannya; Warastatu
al-anbiya’. Ulama itu adalah pewarisnya para Nabi.
Di sini jelas sekali kedudukan seorang yang
mendalami ilmu agama adalah orang menduduki jabatan yang sangat tinggi, di sisi
Allah. Namun sayang , teori itu belum bisa menjangkau penuh ranah praktis.
Paham itu telah lebih dulu terhegemoni dengan sudut pandang praktis yang lebih
menginginkan kesejahteraan dalam bentuk spefisik dan riil.
Dan itu yang hari ini tengah melanda sejumlah
PTAIN/PTAIS di Indonesia. Otomatis menjadi sebuah problema. Namun tatkala kami mulai menyampaikan hal
yang masuk di nalar itu, syukur sekali rekan-rekan delegasi mau mendengarkan.
Maka langsung saya datangkan contoh; Mas Hasbi Arijal
yang kini berkedudukan di Kepala Departemen Pengabdian Masyarakat yang
membawahi 7 TPA (Taman
Pendidikan Al-Qur’an)
di desa-desa sekitar kecamatan Siman, juga 20 SD binaan gerakan pramuka. Mas
Majid lebih ganas lagi, saya paparkan
kedudukan ‘Beliau’ sebagai ketua koordinator KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah
Haji) yang melingkupi wilayah Ponorogo dan Madiun. Sementara saya sendiri? Saya
katakan saja dengan santai, bahwa syukur alhamdulillah di samping menjadi Ketua
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, pada hari ini pun saya masih
dipercaya menjadi Koordinator di Centre for Islamic and Occidental Studies
(CIOS) di bawah bimbingan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. M.A. ed. M.Phil. Para
peserta delegasi pun riuh rendah seketika.
Namun itu bukan sekedar olok-olok, kami hanya
menyampaikan informasi tanpa sedikitpun reduksi realitas. Pendek kata,
pemaparan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka berdecak kagum.
Karena pada kenyataannya, pandangan rekan-rekan delegasi
telah terkukung dalam segenap konsep soal peluang kerja, sempitnya pandangan
untuk hidup, dsb. Itu adalah perspektif yang mesti diubah. Karena Ulama tidak
hanya sekedari mengajar atau jadi PNS, namun juga bisa berbisnis,
berwiraswasta, dan melakukan segenap pekerjaan yang tidak terbatas oleh ikatan
sebagaimana PNS. Itu adalah kelebihan yang mestinya disadari oleh tiap-tiap
mahasiswa Ushuluddin.
Maka sebuah kesyukuran sekali tatkala toh memang pada
kenyataannya, kehadiran kami bisa berkontribusi. Bang Aziz yang membawakan
acara menyambut baik konsep tersebut dengan sekian kalimat apresiasi, lantas
melemparkannya kembali ke pada segenap peserta delegasi sebagai sebuah
alternatif solusi atas pragmatisme yang tengah melanda mereka.
***
Sebagaimana telah saya tulis di atas, bahwa hari kedua
ini adalah hari yang menjadi puncak acara. Maka seusai sesi pertama di pagi
hari yang termasuk cukup ‘panas’ tadi lantas dilanjutkan kembali di sesi kedua,
usai makan siang. Sesi kali ini adalah merumuskan sekian poin rekomendasi untuk DIKTIS sebagai
penyelesaian ‘pragmatisme pendidikan’ yang tengah dibincangkan. Ada sekian poin
di sana yang
terbagi menjadi dua; Yakni rekomendasi ke Pusat dan ke Dekanat di
antaranya adalah:
A.
REKOMENDASI
KE PUSAT
1.
Meminta
kepada pihak DIRJEN PENDIS agar lulusan sarjana Ushuluddin mendapat legalitas
sebagai tenaga pengajar berdasarkan peraturan pemerintah No. 74 tentang
profesionalisme guru (Al-Qur’an Hadis dan Aqidah Akhlak).
2.
Membentuk
lembaga yang menaungi resolusi konflik agama.
3.
Menjalin
kerjasama dengan instansi internasional (kedubes).
4.
Pemberian
gelar kesarjanaan sesuai jurusan keilmuan di lingkungan Fakultas Ushuluddin.
5.
Menindaklanjuti
jurusan-jurusan yang ingin dihapus di fakultas Ushuluddin di beberapa PTAI.
6.
Mengklarifikasi
jurusan-jurusan yang ada di Fakultas
Ushuluddin.
7.
Mengapresiasi
lulusan ushuluddin dengan bentuk yang sesuai dengan keilmuan pada tiap jurusan
di Ushuluddin.
8.
Beasiswa
full khusus untuk Ushuluddin.
9.
Memasukkan
kurikulum pengantar ke-Ushuluddin-an (perbandingan agama, filsafat Islam dan
sosiologi agama) ke dalam kurikulum Madrasah Aliyah (MA).
10.
Membuat
jurusan keagamaan di Madrasah Aliyah (MA) dan sederajat.
B.
REKOMENDASI
KE DEKANAT
1.
Menjalin
kerjasama dengan instansi lain.
2.
Inovasi
kurikulum yang tetap mengkedepankan keilmuan Ushuluddin.
3.
Memperbaiki
kualitas dosen (SDM).
4.
Standarisasi
kelimuan dosen harus ditingkatkan.
5.
Pembibitan
dan pemberdayaan SDM alumni Fakultas Ushuluddin.
6.
Pendampingan
masyarakat.
7.
Membuat
laboratorium-laboratorium dengan fokus pengembangan keilmuan prodi.
8.
Pembekalan
mahasiswa bidang soft skill, setelah lulus tidak mencari-cari pekerjaan,
tetapi membuka pekerjaan.
9.
Ada
stimulus bantuan karya tulis ilmiah yang dipublikasikan.
Itu adalah poin-poin yang berhasil dirumuskan oleh rekan-rekan
mahasiswa Ushuluddin. ISID Siman, juga termasuk memberikan kontribusi untuk
beberapa poin. Mungkin terutama untuk pemberian gelar untuk
wisudawan/wisudawati fakultas Ushuluddin. Perkaranya, di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sekalipun gelar S.Th.i dan S.Fil.i telah tergeser dengan gelar S.Ud.
Ah, seperti kejadian di ISID dua tahun yang lalu. Kalau mengingat getolnya Ust.
Rif’at Husnul Ma’afi, dekan fak. Ushuluddin ISID yang kini tengah berdomisili
sebagai guru senior di Gontor soal gelar itu akan miris sendiri. ISID sendiri
bisa, namun kenapa UIN tidak?
Padahal, kami kira pemberian gelar itu sendiri merupakan
spesialisasi yang penting dalam spesifikasi keilmuan. Bukan sembarangan. Ust.
Rif’at dulu pernah berkelakar di kelas, ‘La terus yang Tarbiyah mau pakai
S.Tar (STAR) gitu?’. Kami tertawa saja mendengarnya.
***
Sesi
malam, benar-benar sesi yang memuakkan. Hari terakhir, namun ternyata jauh
lebih parah dari yang kami rasakan selama ini.
Rencana
terselubung. Itu dia. Tatkala 3 fraksi yang bertugas untuk merumuskan
rekomendasi DIKTIS dan Dekanat sudah selesai tepat jam 9, kami kira kami akan
berangkat istirahat untuk penutupan besok pagi. Toh, kan sudah selesai? Begitu
pikir kami.
Namun
ternyata itu hanya mimpi. Panitia ternyata sudah mempersiapkan berkas untuk
melaksanakan Musyawarah Luar Biasa FORMADINA (Forum Mahasiswa Ushuluddin se
Indonesia). Peserta otomatis ricuh. Yang parah, acara malam itu ternyata
diperpanjang hingga jam satu malam, untuk membahas GBHA (di ISID biasa disebut
GBHK), AD/ART!! Gila! Kami jelas takut sekali. Bagaimana kita bisa bicara ke
atasan ketika pulang nanti soal organisasi ini yang ISID jelas diharamkan benar
untuk sekedar kontribusi?
Namun akhirnya kami berusaha mendinginkan kepala. Kami
bersikukuh dengan pendirian; Bahwa untuk seminar, konferensi ataupun acara yang
bersifat pelatihan, ISID Siman bisa kontribusi. Namun untuk soal organisasi,
mohon maaf saja. Aturan Gontor bersifat mutlak. Tidak bisa diganggu gugat.
Beberapa delegasi sempat heran, bahkan menuntut kami untuk
tetap ikut. Sebuah kesyukuran bahwa pendapat kami ‘dibutuhkan’, namun untuk
kali ini, kami benar-benar tidak bisa toleransi. Sebisa mungkin kami
menerangkan tentang sistem Gontor soal tidak boleh keikutsertaan kami untuk
organisasi semacam ini. Untuk tahap regional pun itu masih harus
dipertimbangkan, apalagi yang ini; skala Nasional! Ingat sekali tatkala Mas
Bahtiar dai IAIN Jambi menyatakan soal hak berbicara di forum, kami menjawab; ‘Iya,
itu hak. BUKAN kewajiban. Kami tetap akan berkonstribusi dengan sepenuh daya
kami.’ Dan mereka pun membiarkan.
Tidak harus banyak yang dibicarakan
di sesi malam ini. Telinga sudah hilang fungsinya, terhapus oleh silatnya
lidah. Mungkin laporan hari ketiga akan cukup mewakili laporan untuk sesi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar