Hari Ke-3: Dan Semuanya
Memiliki Akhir
Dan semuanya memiliki
akhir.
Benarkah?
Teori
lama. Anak kecil belum lulus playgroup pun tahu benar akan itu. Pertanyaan yang
mestinya diajukan adalah; ‘Akhir yang bagaimana yang ingin kita temui?’
Atau ‘Bagaimana kita harus mengakhiri ini?’
Keputusan Almarhum
Trimurti soal haramnya mengikuti
organisasi luar kampus sungguh terasa bijak sejak tadi malam. Dan semakin sejuk
saat pagi. Acara ‘kongres’ kembali menggaung pukul sembilan. Saya, Hasbi dan
Majid sudah siap-siap kuping. Kami semua tahu konsekuensi yang harus kami
tempuh di hari terakhir ini; Menjadi pendengar setia.
Ya, kejadian tadi malam
sudah lebih dari cukup ditangkap oleh panitia dan segenap delegasi bahwa Gontor
tidak akan berkecimpung apapun soal organisasi luar kampus. Lepas dari
pandangan miring dan dugaan, namun paling tidak mereka bisa mengerti betapa
berharganya suatu aturan di Gontor. Saya dan Hasbi baru 5 menit duduk di kursi
peserta, namun yang terjadi? Tahukah anda?
Tidak perlu banyak cerita
untuk itu. Namun memang luar biasa aneh. Ketika sudah suntuk hingga nyaris jam
satu untuk ‘hanya’ membincangkan soal AD/ART dan GBHK Formadina, perdebatan dimulai lagi. Kali ini soal
pantaskah Musyawarah Luar Biasa ini dilanjutkan, atau tidak? Kubu pun terbagi.
IAIN Serang dan UIN Alauddin Makassar sepakat soal dihentikannya kongres itu.
Perihalnya sebagaimana yang sudah saya ceritakan di hari ke-2, tidak ada
terjadwal secara resmi kongres FORMADINA. Namun tokoh-tokoh idealis dari UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya dan IAIN Jambi
bersikeras untuk lanjut. Delegasi dari STAIN Ponorogo, IAIN Cirebon, IAIN
TulungAgung, dan IAIN Surakarta tak banyak bicara. Mereka mungkin dalam hati
sepakat soal cacatnya konferensi dengan tidak konsistennya jadwal dengan
kegiatan yang berjalan, namun mereka diam. Sepakat dengan kami yang sudah
bersiap menjadi ‘pendengar setia’. Sampai pagi itu kami sudah tak heran lagi.
Namun,
bukannya membesar-besarkan. Malam sudah ricuh, paginya lebih ricuh lagi.
Diperparah oleh delegasi IAIN Walisongo Semarang yang baru datang pagi itu,
namun luar biasa berkoar. Kali ini terlihat jelas, saat setiap kubu yang
bersuara tidak mau ‘terihat’ kalah. IAIN Serang sempat berontak untuk langsung
pulang, namun berhasil ditenangkan. Parah, perdebatan kusir yang jadi tontonan
kami itu berlangsung selama hampir 3 jam!! Sebelum akhirnya menginjak pukul 12
siang, M. Arif Ketua BEM Ushuluddin UIN SUKA selaku pimpinan sidang akhirnya
memberikan opsi dengan bentuk tempat duduk. Untuk kubu yang setuju dengan
dilanjutkannya kongres luar biasa ini agar menempati tempat duduk di samping
kanan, sedangkan yang tidak setuju agar berkelompok di samping kiri. Ketika
itu, saya memberi isyarat untuk mas Hasbi dan Majid. Saya maju ke depan,
berbisik pada Arif untuk izin meninggalkan forum, dan dia pun
mengiyakan.
Kami
meninggalkan ruang sidang. Dalam situasi terjepit seperti ini berdiri di pihak
manapun jelas akan menimbulkan kesalahpahaman, dan itu sama sekali tidak ingin
saya terima atau dengar. Di luar, sembari mendinginkan kepala kami
berbincang-bincang dengan Fajar, panitia konferensi yang sedang semester V dan
menjabat sebagai SMF Ushuluddin UIN SUKA. Beberapa menit kemudian, dari luar
kami dengar suara M. Arif memberikan maklumat ke pada segenap peserta yang
masih berada di dalam “ISID Gontor tidak bisa berkontribusi untuk ikut
FORMADINA” Syukurlah, berarti dia paham.
Nah, di luar suasana kami
yang sedari tadi tegang di dalam mulai cair. Ketika perbincangan dengan Fajar
masih asyik, Mbak Ita menghampiri kami. Saya bilang pada Mbak Ita, bahwa yang
seperti ini seperti jebakan. Dengan nada yang agak tegas, tentunya. Maksud kami
sih sekedar kelakar saja, karena bagaimanapun apa ada rasa nyaman bagi Gontor
yang berkomitmen untuk menghindari segala macam ‘haram’ namun malah masuk tanpa
ada keridhoan semacam ini? Mungkin bisa dikatakan curhat, namun sepertinya
kalimat saya termasuk menusuk. Saya bisa melihat perubahan raut wajah yang
seketika itu pula di paras Mbak Ita. Dia sepertinya tidak enak hati. Tapi lewat
beberapa menit saya mengalihkan pembicaraan lagi. Akhir-akhirnya, saya kembali
ngobrol dengan Fajar. Dan Mbak Ita pun berlalu.
Nah,
di sini dia. Kami kembali mendiskusikan hermeneutika. Kali ini sedikit fokus,
karena di sini Fajar sudah memulai dengan statement nyata, bahwa UIN SUKA
adalah Sumber Kajian Hermeneutika Terbesar di Indonesia. Dan Pak Amin Abdullah
adalah Bapak Hermeneutika Indonesia. Nyaris tertawa saya mendengarnya, namun
tetap saya perhatikan.
Dia
bertanya kenapa ISID tidak mempelajari Hermeneutika, sebagai alternatif tafsir.
Saya tanya balik lagi; Hermeneutika seperti apa yang memang dimaksud? Dan
bagaimana pandangannya dengan hermeneutika itu sendiri? Dia pun menjawab kurang
lebih dengan memposisikan bahwa dalam kategori ilmiah, suatu ilmu
tidak bisa dicap salah. Dan inti mempunyai visi yang sama soal menafsirkan.
Saya sampaikan pada dia,
bahwa saya juga termasuk membaca karya Joseph Bleicher, Schleimercher, Dilthey,
bahkan Arkoun. Saya tekankan bahwa esensi tafsir itu tidak pernah hilang, dan
denganya hermeneutika tidak diperlukan. Namun dia berargumen lagi, bahwa
kalimat hermes sendiri itu sudah
diperbatkan. Ada yang mengatakan bahwa itu untuk menafsirkan Nabi
Khidir, dsb.
Sebagaimana saya ceritakan
di hari pertama, perdebatan semacam ini tidak akan menimbulkan shiftparadigm,
apalagi terhadap ideologi yang sudah mengakar semacam itu. Sekedar kritik,
sebenarnya statement bahwa ‘ilmu itu bebas nilai’ yang digembarkan Fazlur
Rahman itu perlu dikaji kembali. Bukankah setiap kerangka teori, asumsi dasar,
konsep, hingga paradigma keilmuan itu memiliki asas manfaat sebagai sebuah
relevansi untuk menyelesaikan problematika yang ada di depan mata peneliti?
Teorinya pun begitu. Setiap ilmu memiliki status pragmatis, karena ada
yang memang harus diselesaikan dengan ilmu itu.
Maka dari itu, sebenarnya
status Fazlur Rahman itu justru berimplikasi terbalik. Dia menolak nilai suatu
ilmu, namun dia mau tak mau juga harus sepakat dengan esensi pragmatis yang
menjadi standarisasi suatu ilmu. Mungkin ini yang menjadi salah satu faktor
kesalahan paradigma intelektual di Indonesia, terutama di PTAIN/PTAIS di
Indonesia.
Padahal, kalau mengingat
pesan Fazlur kepada Prof . Wan
Daud, ‘kritislah’. Maka akan banyak sekali konklusi yang akan dihasilkan.
Modernisasi pemikiran Fazlur Rahman boleh jadi revolusioner, namun di beberapa
sisi jelas negatif akan iman. Sedikit
pengamatan saya, sepertinya Fajar sendiripun tidak terlalu ‘beriman’ dengan
hermeneutika. Indikasinya, dia masih bisa mempertanyakan soal ‘yang bagaimana’
saat membincangkan soal hermeneutika itu. Karena memang, kenyataannya
hermeneutika yang akan dipakai sebagai pisau yang membelah Al-Qur’an
itu sendiri itu apakah ada? Mau pakai model siapa? Model Bleicher?
Schleimacer? Dilthey? Hassan Hanafi? Atau Abu Zayd? Yang terakhir ini boleh
jadi dengan tanda kutip. Mengingat teori beliau ini banyak menginspirasi arus
liberalisasi pemikiran dalam tataran Internasional. Di Indonesia, khususnya.
Namun lepas dari opini
saya itu, boleh jadi itu sebuah hikmah yang tiada tara. Tiga hari ini dengan
sekian konflik paradigma yang berlari di antara kami menyadarkan bahwa kerangka
fikir itu harus senantiasa ditumbuhkembangkan. Tidak statis. Masuk UIN pun niat
awalnya adalah ingin belajar, bukan untuk jadi Liberal. Semoga Allah
menyadarkan. Aamiin.
Mungkin jangan sampai lupa kita dengan judul
di atas, eh?
Pertanyaan balik,
sebagaimana yang biasa dilakukan Plato ini bukannya sembarangan. Karena yang ingin dicari adalah hakekat
kebenaran, bukan pembenaran. Plato yang menyatakan itu. Maka, agaknya
baik sekali jika kembali ke pertanyaan; ‘Akhir yang bagaimana yang ingin
peserta KONGRES temui?
Entah apapun yang
dinginkan oleh peserta, namun yang jelas berbeda jauh dengan realita yang kami
dapati. Kesyukuran yang
kami lontarkan sejak tadi malam pada
siang hari akhirnya mencapai puncak. Perkelahian terjadi, antara salah seorang
delegasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan salah satu delegasi UIN
Alauddin Makassar. Perihalnya, konon karena pimpinan FORMADINA yang terpilih
dari musyawarah luar biasa itu adalah delegasi UIN Jakarta, sementara posisinya
UIN Alauddin Makassar tidak menyetujui soal adanya kongres luar biasa itu.
Kalaupun iya, kata mereka. Apa mungkin menghabiskan sekian sidang yang akan membahas
AD/ART dan GBHK hanya dalam kurang dari sehari?
Baku hantam tak bisa
dielakkan. Panitia pun melerai dibantu beberapa rekan delegasi. Waktu itu, kami
delegasi Gontor sedang makan nasi kotak. Makan siang, ceritanya. Menonton
kejadian anarkis semacam itu, kami hanya bisa miris. Sedikit kontribusi,
akhirnya beliau berdua itu pun berhasil dilerai. Delegasi UIN Jakarta diamankan
di kantor panitia. Sementara delegasi UIN Makassar dibiarkan menenangkan diri
di rayon peserta konferensi.
Usai makan siang dan
shalat zuhur, acara pun akhirnya dilanjutkan dengan penutupan. Sedikit
foto-foto dan perpisahan. Salam-salaman dan tukar nomor hape dan facebook.
Detik-detik terakhir di sana membuat saya sedikit berpikir soal mimpi. Usai
saya meneriakkan ‘Hidup Ushuluddin’ ketika berfoto bersama, Fazli berteriak, “ISTAC!”
saat berfoto dengan Gontor keras sekali. Saya tertegun. Apakah saya akan bisa
ke sana setelah 3 tahun lagi?
Selepas Ashar, pertanyaan
itu pun akhirnya berkecamuk. Kami berdoa benar agar mimpi kami bisa terlaksana.
ISTAC, IIUM, McGill, dan Kyodai adalah sebuah nama yang menggaung dalam
mimpi dan benak kami. Dan akhirnya, ‘Bagaimana kita harus mengakhiri ini?’.
Jawabannya pun jelas, kami
pulang dengan damai dan hati haru. Kecuali satu orang dari Jakarta. Yang harus
pulang dengan lebam di wajah akibat tinju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar