Sabtu, 15 Juni 2013

The journey of a student Darussalam University in a relationship PTAIN at UIN Sunan Kalidjaga season 3(Perjalanan seorang mahasiswa Universitas Darussalam dalam silaturahmi PTAIN di UIN sunan Kalijaga episode 3)

Hari Ke-3: Dan Semuanya Memiliki Akhir

Dan semuanya memiliki akhir.
Benarkah?
            Teori lama. Anak kecil belum lulus playgroup pun tahu benar akan itu. Pertanyaan yang mestinya diajukan adalah; ‘Akhir yang bagaimana yang ingin kita temui?’ Atau ‘Bagaimana kita harus mengakhiri ini?’
Keputusan Almarhum Trimurti soal haramnya mengikuti organisasi luar kampus sungguh terasa bijak sejak tadi malam. Dan semakin sejuk saat pagi. Acara ‘kongres’ kembali menggaung pukul sembilan. Saya, Hasbi dan Majid sudah siap-siap kuping. Kami semua tahu konsekuensi yang harus kami tempuh di hari terakhir ini; Menjadi pendengar setia.
Ya, kejadian tadi malam sudah lebih dari cukup ditangkap oleh panitia dan segenap delegasi bahwa Gontor tidak akan berkecimpung apapun soal organisasi luar kampus. Lepas dari pandangan miring dan dugaan, namun paling tidak mereka bisa mengerti betapa berharganya suatu aturan di Gontor. Saya dan Hasbi baru 5 menit duduk di kursi peserta, namun yang terjadi? Tahukah anda?
Tidak perlu banyak cerita untuk itu. Namun memang luar biasa aneh. Ketika sudah suntuk hingga nyaris jam satu untuk ‘hanya’ membincangkan soal AD/ART dan GBHK Formadina,  perdebatan dimulai lagi. Kali ini soal pantaskah Musyawarah Luar Biasa ini dilanjutkan, atau tidak? Kubu pun terbagi. IAIN Serang dan UIN Alauddin Makassar sepakat soal dihentikannya kongres itu. Perihalnya sebagaimana yang sudah saya ceritakan di hari ke-2, tidak ada terjadwal secara resmi kongres FORMADINA. Namun tokoh-tokoh idealis dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya dan IAIN Jambi bersikeras untuk lanjut. Delegasi dari STAIN Ponorogo, IAIN Cirebon, IAIN TulungAgung, dan IAIN Surakarta tak banyak bicara. Mereka mungkin dalam hati sepakat soal cacatnya konferensi dengan tidak konsistennya jadwal dengan kegiatan yang berjalan, namun mereka diam. Sepakat dengan kami yang sudah bersiap menjadi ‘pendengar setia’. Sampai pagi itu kami sudah tak heran lagi.
            Namun, bukannya membesar-besarkan. Malam sudah ricuh, paginya lebih ricuh lagi. Diperparah oleh delegasi IAIN Walisongo Semarang yang baru datang pagi itu, namun luar biasa berkoar. Kali ini terlihat jelas, saat setiap kubu yang bersuara tidak mau ‘terihat’ kalah. IAIN Serang sempat berontak untuk langsung pulang, namun berhasil ditenangkan. Parah, perdebatan kusir yang jadi tontonan kami itu berlangsung selama hampir 3 jam!! Sebelum akhirnya menginjak pukul 12 siang, M. Arif Ketua BEM Ushuluddin UIN SUKA selaku pimpinan sidang akhirnya memberikan opsi dengan bentuk tempat duduk. Untuk kubu yang setuju dengan dilanjutkannya kongres luar biasa ini agar menempati tempat duduk di samping kanan, sedangkan yang tidak setuju agar berkelompok di samping kiri. Ketika itu, saya memberi isyarat untuk mas Hasbi dan Majid. Saya maju ke depan, berbisik pada Arif untuk izin meninggalkan forum, dan dia pun mengiyakan.
            Kami meninggalkan ruang sidang. Dalam situasi terjepit seperti ini berdiri di pihak manapun jelas akan menimbulkan kesalahpahaman, dan itu sama sekali tidak ingin saya terima atau dengar. Di luar, sembari mendinginkan kepala kami berbincang-bincang dengan Fajar, panitia konferensi yang sedang semester V dan menjabat sebagai SMF Ushuluddin UIN SUKA. Beberapa menit kemudian, dari luar kami dengar suara M. Arif memberikan maklumat ke pada segenap peserta yang masih berada di dalam “ISID Gontor tidak bisa berkontribusi untuk ikut FORMADINA” Syukurlah, berarti dia paham.
Nah, di luar suasana kami yang sedari tadi tegang di dalam mulai cair. Ketika perbincangan dengan Fajar masih asyik, Mbak Ita menghampiri kami. Saya bilang pada Mbak Ita, bahwa yang seperti ini seperti jebakan. Dengan nada yang agak tegas, tentunya. Maksud kami sih sekedar kelakar saja, karena bagaimanapun apa ada rasa nyaman bagi Gontor yang berkomitmen untuk menghindari segala macam ‘haram’ namun malah masuk tanpa ada keridhoan semacam ini? Mungkin bisa dikatakan curhat, namun sepertinya kalimat saya termasuk menusuk. Saya bisa melihat perubahan raut wajah yang seketika itu pula di paras Mbak Ita. Dia sepertinya tidak enak hati. Tapi lewat beberapa menit saya mengalihkan pembicaraan lagi. Akhir-akhirnya, saya kembali ngobrol dengan Fajar. Dan Mbak Ita pun berlalu.
            Nah, di sini dia. Kami kembali mendiskusikan hermeneutika. Kali ini sedikit fokus, karena di sini Fajar sudah memulai dengan statement nyata, bahwa UIN SUKA adalah Sumber Kajian Hermeneutika Terbesar di Indonesia. Dan Pak Amin Abdullah adalah Bapak Hermeneutika Indonesia. Nyaris tertawa saya mendengarnya, namun tetap saya perhatikan.
            Dia bertanya kenapa ISID tidak mempelajari Hermeneutika, sebagai alternatif tafsir. Saya tanya balik lagi; Hermeneutika seperti apa yang memang dimaksud? Dan bagaimana pandangannya dengan hermeneutika itu sendiri? Dia pun menjawab kurang lebih dengan memposisikan bahwa dalam kategori ilmiah, suatu ilmu tidak bisa dicap salah. Dan inti mempunyai visi yang sama soal menafsirkan.
Saya sampaikan pada dia, bahwa saya juga termasuk membaca karya Joseph Bleicher, Schleimercher, Dilthey, bahkan Arkoun. Saya tekankan bahwa esensi tafsir itu tidak pernah hilang, dan denganya hermeneutika tidak diperlukan. Namun dia berargumen lagi, bahwa kalimat hermes  sendiri itu sudah diperbatkan. Ada yang mengatakan bahwa itu untuk menafsirkan Nabi Khidir, dsb.
Sebagaimana saya ceritakan di hari pertama, perdebatan semacam ini tidak akan menimbulkan shiftparadigm, apalagi terhadap ideologi yang sudah mengakar semacam itu. Sekedar kritik, sebenarnya statement bahwa ‘ilmu itu bebas nilai’ yang digembarkan Fazlur Rahman itu perlu dikaji kembali. Bukankah setiap kerangka teori, asumsi dasar, konsep, hingga paradigma keilmuan itu memiliki asas manfaat sebagai sebuah relevansi untuk menyelesaikan problematika yang ada di depan mata peneliti? Teorinya pun begitu. Setiap ilmu memiliki status pragmatis, karena ada yang memang harus diselesaikan dengan ilmu itu.
Maka dari itu, sebenarnya status Fazlur Rahman itu justru berimplikasi terbalik. Dia menolak nilai suatu ilmu, namun dia mau tak mau juga harus sepakat dengan esensi pragmatis yang menjadi standarisasi suatu ilmu. Mungkin ini yang menjadi salah satu faktor kesalahan paradigma intelektual di Indonesia, terutama di PTAIN/PTAIS di Indonesia.
Padahal, kalau mengingat pesan Fazlur kepada Prof . Wan Daud, ‘kritislah’. Maka akan banyak sekali konklusi yang akan dihasilkan. Modernisasi pemikiran Fazlur Rahman boleh jadi revolusioner, namun di beberapa sisi jelas negatif akan iman.  Sedikit pengamatan saya, sepertinya Fajar sendiripun tidak terlalu ‘beriman’ dengan hermeneutika. Indikasinya, dia masih bisa mempertanyakan soal ‘yang bagaimana’ saat membincangkan soal hermeneutika itu. Karena memang, kenyataannya hermeneutika yang akan dipakai sebagai pisau yang membelah Al-Qur’an itu sendiri itu apakah ada? Mau pakai model siapa? Model Bleicher? Schleimacer? Dilthey? Hassan Hanafi? Atau Abu Zayd? Yang terakhir ini boleh jadi dengan tanda kutip. Mengingat teori beliau ini banyak menginspirasi arus liberalisasi pemikiran dalam tataran Internasional. Di Indonesia, khususnya.

Namun lepas dari opini saya itu, boleh jadi itu sebuah hikmah yang tiada tara. Tiga hari ini dengan sekian konflik paradigma yang berlari di antara kami menyadarkan bahwa kerangka fikir itu harus senantiasa ditumbuhkembangkan. Tidak statis. Masuk UIN pun niat awalnya adalah ingin belajar, bukan untuk jadi Liberal. Semoga Allah menyadarkan. Aamiin.
Mungkin jangan sampai lupa kita dengan judul di atas, eh?
Pertanyaan balik, sebagaimana yang biasa dilakukan Plato ini bukannya sembarangan.  Karena yang ingin dicari adalah hakekat kebenaran, bukan pembenaran. Plato yang menyatakan itu. Maka, agaknya baik sekali jika kembali ke pertanyaan; ‘Akhir yang bagaimana yang ingin peserta KONGRES temui?
Entah apapun yang dinginkan oleh peserta, namun yang jelas berbeda jauh dengan realita yang kami dapati. Kesyukuran yang kami lontarkan  sejak tadi malam pada siang hari akhirnya mencapai puncak. Perkelahian terjadi, antara salah seorang delegasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan salah satu delegasi UIN Alauddin Makassar. Perihalnya, konon karena pimpinan FORMADINA yang terpilih dari musyawarah luar biasa itu adalah delegasi UIN Jakarta, sementara posisinya UIN Alauddin Makassar tidak menyetujui soal adanya kongres luar biasa itu. Kalaupun iya, kata mereka. Apa mungkin menghabiskan sekian sidang yang akan membahas AD/ART dan GBHK hanya dalam kurang dari sehari?
Baku hantam tak bisa dielakkan. Panitia pun melerai dibantu beberapa rekan delegasi. Waktu itu, kami delegasi Gontor sedang makan nasi kotak. Makan siang, ceritanya. Menonton kejadian anarkis semacam itu, kami hanya bisa miris. Sedikit kontribusi, akhirnya beliau berdua itu pun berhasil dilerai. Delegasi UIN Jakarta diamankan di kantor panitia. Sementara delegasi UIN Makassar dibiarkan menenangkan diri di rayon peserta konferensi.
Usai makan siang dan shalat zuhur, acara pun akhirnya dilanjutkan dengan penutupan. Sedikit foto-foto dan perpisahan. Salam-salaman dan tukar nomor hape dan facebook. Detik-detik terakhir di sana membuat saya sedikit berpikir soal mimpi. Usai saya meneriakkan ‘Hidup Ushuluddin’  ketika berfoto bersama, Fazli berteriak, “ISTAC!” saat berfoto dengan Gontor keras sekali. Saya tertegun. Apakah saya akan bisa ke sana setelah 3 tahun lagi?
Selepas Ashar, pertanyaan itu pun akhirnya berkecamuk. Kami berdoa benar agar mimpi kami bisa terlaksana. ISTAC, IIUM, McGill, dan Kyodai adalah sebuah nama yang menggaung dalam mimpi dan benak kami. Dan akhirnya, ‘Bagaimana kita harus mengakhiri ini?’.

Jawabannya pun jelas, kami pulang dengan damai dan hati haru. Kecuali satu orang dari Jakarta. Yang harus pulang dengan lebam di wajah akibat tinju. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar